Sumber: dokumentasi pribadi
Alih-alih terlelap dalam gelap, aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tampak menyerupai arena festival malam itu. Lampu plafon yang biasanya bersinar sendirian kini ditemani oleh lampu-lampu sorot yang sedikit remang-remang, lembut menerangi jejeran foto yang dipajang dengan amat menarik di sebuah papan putih. Manusia berlalu lalang memandangi pameran fotografi, membidik elok dari setiap sudut. Namun, rupanya bukan hanya karena pameran fotografi aula FIB ramai didatangi, melainkan karena pentas drama yang menempati posisi sentral. Pentas drama yang digelar pada 12 Desember 2025 di aula FIB ini turut disaksikan oleh mahasiswa, dosen, dan dekan.

Penonton tampak antusias di tempatnya masing-masing, terutama saat lampu panggung perlahan meredup. Instrumen mengalun lirih, mengiringi langkah pelakon yang tampak cantik dengan kebaya putih sederhananya. Seorang budak cantik (Tiang) yang selalu dimarahi Gusti—Sang Ratu yang galak dan ditakuti, meski usianya sudah sangat matang.

Hari-hari Tiang selalu dipenuhi omelan Gusti, membuat ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kerajaan, meski ibunya yang juga mengabdi di istana mencoba menahannya. Sang Ibu (Si Mbok) berusaha meyakini Tiang bahwa Gusti tidak sekejam yang ia lihat. Sayangnya tekad Tiang sudah bulat, ditambah lagi dengan ucapan Gusti yang seakan-akan mendorong Tiang untuk bergegas pergi.
Perjalanan itu memunculkan rangkaian rahasia dan kejutan. Si Mbok berniat menyusul, tetapi belum sempat pergi, anak perempuan Gusti (Ida Ayu) yang seumuran dengan Tiang tiba dari kota tempat ia menimba ilmu. Ida Ayu datang, lantas mencari keberadaan Tiang dan Si Mbok.
Takdir mempertemukan mereka secara tak sengaja, saat Si Mbok membawa sebuah surat yang dicurigai Gusti sebagai dokumen penting kerajaan, Gusti menuntut agar surat itu dibacakan, tetapi Si Mbok menolak. Kalaupun ia diharuskan membacanya, Tiang harus berada di sini.
Akhirnya, Si Mbok menyusul Tiang dan mengajaknya kembali ke istana, berkumpul bersama Gusti dan Ida Ayu. Tiang mencoba membaca surat itu, tapi tulisan yang buram membuatnya hanya bisa menyebut beberapa kata. Dari kata-kata itu, Si Mbok menyimpulkan bahwa surat tersebut adalah titah Raja agar Gusti dan kerajaan dijaga dengan setia. Rahasia besar pun terungkap. Gusti menuduh Raja berselingkuh, padahal hubungan Raja dengan Si Mbok semata demi keturunan karena Gusti tak bisa memberinya penerus takhta. Lebih menakjubkan lagi, Tiang dan Ida Ayu ternyata sama-sama anak Raja. Kekacauan hati dan rahasia yang lama tersembunyi itu akhirnya menemukan titik damai. Gusti meminta maaf kepada Ida Ayu, semua pihak berdamai, dan hubungan yang retak akhirnya bersatu kembali.
Pentas malam itu bukan sekadar hiburan, ia lebih seperti menelusuri lorong waktu, menyingkap bayang-bayang istana, rahasia, dan emosi manusia yang tersembunyi. Penonton diajak merasakan dilema, pengkhianatan, dan pengampunan, seolah ikut menyusuri setiap langkah para tokoh. Di balik singgasana yang megah, tersimpan kisah yang penuh rahasia, ketegangan, dan akhirnya berubah menjadi harapan. Drama ini menjadi pengingat bahwa di setiap kekuasaan, di setiap rahasia, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki.
Editor: Fitriana Oktavia
