Sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda terlihat berdiri tegak di jantung Kota Semarang. Gelap, kosong, Eksotis sekaligus mistis. Kesan itulah yang terpancar dari Lawang Sewu, bangunan tua yang berada di dekat Tugu Muda, Semarang, Jawa Tengah. Gedung ini awalnya dibangun sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api swasta masa Hindia Belanda.
Mengunjungi Lawang Sewu merupakan pengalaman yang menyenangkan. Begitu memasuki Lawang Sewu, pengujung langsung merasa seperti berada di dalam lorong seribu pintu. Setiap ruang memiliki pintu yang letaknya sejajar. Banyaknya pintu ini berfungsi sebagai sirkulasi udara sekaligus mempermudah mobilitas pegawai NIS.

Di lantai pertama, pengunjung akan menjumpai beberapa ruangan berisi dokumentasi sejarah perkeretaapian Indonesia dan sejarah gedung ini. Di sudut lantai pertama terdapat sebuah tangga menuju ruang bawah tanah. Di lantai dua ada aula besar yang dahulu digunakan sebagai tempat perayaan atau pesta. Memasuki lantai tiga, pengunjung bisa menjumpai satu ruangan besar berjendela. Dulunya, ruangan ini jadi tempat olahraga bagi pegawai NIS. Dari lantai ini bisa terlihat pemandangan sekitar Tugu Muda.
Tampias air hujan dan sorot matahari diantisipasi dengan adanya galeri keliling di sepanjang bangunan. Galeri keliling ini diberi atap dengan bertumpu pada susunan bata yang berbentuk lengkungan. Adapun, kebutuhan ventilasi dan pencahayaan alami di dalam ruangannya terpecahkan berkat double gevel. Ini terlihat seperti atap susun yang kini sudah umum dipakai. Di ruang penerima terdapat kaca patri buatan J.L. Schouten, seorang insinyur bangunan yang lebih dikenal sebagai desainer kaca patri. Kaca patri ini sampai sekarang menjadi salah satu daya tarik utama Lawang Sewu.
Ornamen kaca patri pertama melambangkan kemakmuran dan keindahan alam tanah Jawa beserta keragaman hayati, kekayaan flora dan fauna, serta perpaduan seni budaya Barat dan Timur. Kaca patri kedua bercerita tentang Semarang dan Batavia masa itu. Kaca patri ketiga menggambarkan Batavia dan Semarang sebagai pusat aktivitas maritim. Kaca patri keempat melukiskan roda terbang serta sosok Dewi Fortuna (keberuntungan) dan Dewi Venus (cinta).

Selain itu, ada karya-karya seniman lainnya. Bidang lengkung di atas balkon dihiasi ornamen tembikar karya H.A. Koopman. Kubah kecil di puncak kedua buah menara air dilapisi tembaga, sedangkan puncak menara dihiasi hiasan perunggu rancangan perupa L. Zijl. Dari tampilan bangunannya, Lawang Sewu menganut gaya romanesque revival. Ciri yang dominan yaitu memiliki elemen-elemen arsitektural yang berbentuk lengkung sederhana.
Lalu bagian belakang gedung, di mana terdapat sebuah lubang pembuangan, diubah menjadi penghubung ruang bawah tanah dengan halaman belakang. Oleh Jepang, lubang ini digunakan untuk membuang jenazah tahanan yang tewas dalam penjara. Maka, tak heran kalau kesan angker menyertai bangunan ini. Kini, Lawang Sewu dikelola PT Kereta Api Indonesia dan difungsikan sebagai museum perkeretaapian Indonesia. Gedung ini juga bisa disewa untuk berbagai kegiatan. Cagar budaya ini merupakan salah satu landmark Kota Semarang yang menarik untuk dikunjungi.