Begini Cara PBF Pastikan Obat Tetap Aman Hingga ke Tangan Masyarakat

Melakukan pelatihan kepada staf gudang (Foto: Dokumen pribadi)

PURWOKERTO — Banyak masyarakat mengira obat yang dijual di apotek datang langsung dari pabrik. Padahal, sebelum sampai ke tangan konsumen, obat harus melalui proses distribusi panjang yang diawasi ketat agar kualitas dan keamanannya tetap terjaga. Salah satu pihak penting dalam rantai ini adalah Pedagang Besar Farmasi (PBF).

Apoteker Ujang Darmawan dari PT. Millennium Pharmacon International, Tbk menjelaskan bahwa PBF merupakan perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin resmi untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dalam jumlah besar. Prosesnya dimulai dari industri farmasi yang menyalurkan produk ke PBF setelah ada pemesanan. Dari PBF inilah obat kemudian dikirim ke berbagai fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, apotek, klinik, hingga toko obat.

PBF dibagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkup kerja. PBF Pusat memiliki jangkauan distribusi yang luas dan memesan obat langsung dari industri farmasi atau importir. Sementara PBF Cabang melayani distribusi di wilayah tertentu di bawah koordinasi PBF Pusat dan hanya boleh mengambil pasokan obat dari sana. Pembagian ini dilakukan agar jalur distribusi mudah dipantau dan mencegah peredaran obat ilegal.

Dalam proses distribusi yang panjang, tidak jarang muncul berbagai kendala di lapangan. Salah satu yang paling sering terjadi adalah saat pengiriman, seperti kehilangan, pencurian, atau kerusakan obat akibat suhu penyimpanan yang tidak sesuai. Ketika hal itu terjadi, pihak PBF bertanggung jawab penuh untuk menelusuri penyebabnya. Gangguan semacam ini berdampak besar, karena dapat menghambat pengiriman obat dan menyebabkan kekosongan stok di fasilitas kesehatan.

Untuk mencegah hal tersebut, setiap PBF wajib memiliki sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sertifikat ini menjadi bukti bahwa PBF telah memenuhi standar mutu dan keamanan distribusi obat. Dalam praktiknya, apoteker memegang peranan penting mulai dari pengadaan, penerimaan, penyimpanan, hingga penyaluran obat.

Salah satu prinsip penting dalam distribusi adalah sistem First Expired, First Out (FEFO), yaitu obat dengan tanggal kedaluwarsa terdekat harus keluar lebih dulu. “Sekarang sistemnya sudah otomatis, tercatat di faktur penjualan lengkap dengan nomor batch dan tanggal kedaluwarsa,” jelas Ujang. Hal ini memastikan agar obat yang hampir kedaluwarsa tidak beredar di masyarakat.

PBF juga memiliki kebijakan ketat dalam menyalurkan obat. Obat dengan masa kedaluwarsa kurang dari enam bulan biasanya tidak disalurkan, kecuali atas permintaan khusus. Tujuannya agar obat yang diterima masyarakat tetap layak dan efektif digunakan.

Sebagai pengguna obat, masyarakat juga memiliki peran penting. Pastikan membeli obat di fasilitas kesehatan yang berizin, serta memeriksa nomor izin edar (NIE), nomor batch, dan tanggal kedaluwarsa pada kemasan. Jika ragu, Anda bisa melihat izin apotek yang biasanya dipasang di dinding atau memintanya kepada petugas.

Untuk penyimpanan di rumah, obat sebaiknya disimpan di tempat yang kering dan sejuk, tidak lebih dari 30°C. Sebelum mengonsumsi obat, periksa kondisi fisiknya. Jika berubah warna, lembap, atau rapuh, sebaiknya jangan dikonsumsi. Khusus untuk obat sirop, terutama antibiotik, sebaiknya dihabiskan sesuai anjuran dokter dan tidak boleh digunakan kembali setelah dibuka.

Ujang menegaskan, penggunaan obat yang bijak merupakan kunci kesehatan masyarakat. “Beli obat di tempat resmi, gunakan sesuai kebutuhan, dan antibiotik harus dengan resep dokter,” pesannya. Melalui kerja sama antara pemerintah, PBF, tenaga kesehatan, dan masyarakat, keamanan obat dapat terus terjaga hingga sampai di tangan pasien.

Editor: Fadhilah Salma Labibah

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *