Purwokerto – Penyakit ginjal kronis kini menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Data Indonesia Renal Registry (IRR) mencatat, penyebab terbanyak gagal ginjal kronis adalah hipertensi (35%), disusul nefropati diabetik(29%), dan glomerulopati primer (8%). Kondisi ini menunjukkan pentingnya deteksi dini dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan ginjal.
Menurut dr. Andika Khalifah Ardi D.A., Sp.PD., M.M., AIFO-K, penyakit dalam merupakan cabang kedokteran yang berfokus pada penanganan penyakit kompleks yang memengaruhi berbagai organ vital seperti ginjal, jantung, paru, hati, serta sistem hormon dan kekebalan tubuh.
“Karena kompleksitasnya, banyak penyakit saling berhubungan, termasuk penyakit ginjal yang sering kali muncul sebagai komplikasi dari hipertensi dan diabetes,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andika menegaskan bahwa gejala awal penyakit ginjal kerap diabaikan oleh masyarakat.
“Keluhan seperti urine yang berbusa, intensitas buang air kecil yang menurun, atau pembengkakan pada wajah dan tubuh sering kali dianggap sepele. Padahal, gejala tersebut bisa menjadi tanda awal kerusakan ginjal,” ujarnya.

Dok. dr. Andika Khalifah Ardi D.A., Sp.PD., M.M., AIFO-K
Pasien Sering Terlambat Memeriksakan Diri
Banyak pasien baru menyadari gangguan ginjalnya ketika sudah memasuki stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi tentang gejala awal penyakit ginjal di masyarakat. “Biasanya pasien datang setelah keluhan mengganggu aktivitas, seperti sesak atau bengkak di seluruh tubuh. Pada tahap itu, kondisi klinis sudah menunjukkan gagal ginjal tahap akhir,” terang Andika.
Faktor Risiko dan Peran Deteksi Dini
Penyakit hipertensi dan diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal kronis. Kedua penyakit tersebut dapat mengganggu aliran darah ke ginjal dan memicu peradangan mikro yang mempercepat kerusakan ginjal. Karena itu, deteksi dini berperan penting dalam menekan angka komplikasi. “Semakin cepat kerusakan ginjal terdeteksi, semakin banyak sel ginjal yang bisa diselamatkan. Gangguan ginjal akut masih bisa pulih jika faktor risiko dikontrol, sedangkan gagal ginjal kronis bersifat permanen dan membutuhkan terapi seperti cuci darah,” jelasnya.
Kelompok Rentan dan Gaya Hidup
Andika menjelaskan, pasien dewasa dengan banyak penyakit penyerta masih mendominasi kasus gagal ginjal. Namun, tren kini mulai bergeser ke anak-anak dan dewasa muda akibat pola hidup tidak sehat seperti konsumsi gula berlebihan, makanan kemasan, serta kebiasaan merokok.
Untuk menjaga kesehatan ginjal, ia menyarankan masyarakat minum air yang cukup (sekitar dua liter per hari), menjaga pola makan sehat, rutin berolahraga, berhenti merokok, serta menghindari penggunaan obat pereda nyeri secara berlebihan. “Pemeriksaan fungsi ginjal bisa dilakukan di puskesmas atau klinik dengan tes urine dan kadar kreatinina darah,” tambahnya.
Akses dan Inovasi Pengobatan
Saat ini, layanan cuci darah dan transplantasi ginjal sudah tersedia di rumah sakit yang memiliki fasilitas khusus. Melalui program JKN/BPJS, pasien yang membutuhkan tindakan tersebut dapat mengaksesnya tanpa biaya tambahan selama memenuhi indikasi medis.
Di sisi lain, penelitian medis terus berkembang. “Kini riset sudah mengarah pada penggunaan stem cell untuk memperbaiki sel ginjal yang rusak, serta pendekatan preventive medicine guna mengurangi angka cuci darah di masa depan,” ungkap Andika.
Strategi Bersama Hadapi Krisis Ginjal
Menurutnya, penanganan penyakit ginjal tidak bisa hanya dibebankan pada tenaga medis. “Pencegahan bersifat multisektoral. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan pangan dan akses kesehatan, rumah sakit harus mengedepankan edukasi preventif, dan masyarakat harus menjadi agen perubahan dalam menerapkan gaya hidup sehat,” tegasnya.
Andika menutup wawancara dengan pesan sederhana namun bermakna, “Ginjal sehat dimulai dari kebiasaan kecil minum air cukup, menjaga pola makan, dan memeriksakan diri secara rutin. Mencegah jauh lebih mudah daripada mengobati.”
Editor: Yusfi Shofiyatul Azmi