Purwokerto — Gangguan Kecemasan Sosial atau Social Anxiety Disorder (SAD) kerap disalahartikan sebagai sifat pemalu. Padahal, gangguan ini jauh lebih kompleks dan dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Khabibah Solikhah, S.Psi., M.Psi., Psikolog Klinis, yang telah berpraktik sejak 2018 di RSUD Ibu Fatmawati Soekarno Surakarta dan Unit Layanan Psikologi (ULAPSI) Universitas Sebelas Maret, menegaskan pentingnya mengenali perbedaan tersebut agar penanganannya tepat.
Menurut Khabibah, gangguan kecemasan sosial merupakan rasa takut atau cemas yang menetap terhadap situasi sosial di mana seseorang merasa terpapar penilaian orang lain. Gangguan ini ditandai oleh rasa takut yang persisten dan mengganggu fungsi hidup.
Mengenali tanda awal sangat penting untuk mencegah kondisi menjadi lebih parah, seperti ketika seseorang mulai membatasi interaksi sosial karena takut akan penilaian negatif dan melakukan hal-hal yang memalukan di depan umum. Khabibah mencontohkan, seseorang terus menghindari presentasi di kelas atau rapat karena takut dinilai buruk, bahkan mencari alasan agar tidak tampil di hadapan orang lain.
Pada beberapa kasus, kecemasan ini disertai gejala fisik seperti jantung berdebar, berkeringat, atau gemetar. Salah satu kriteria diagnostiknya adalah kecemasan yang dialami secara konsisten setidaknya enam bulan. Jika gejala tersebut mulai menghambat aktivitas belajar, bekerja, atau relasi sosial, maka kondisi ini memerlukan penanganan profesional.
Khabibah menjelaskan, gangguan kecemasan sosial tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Ada berbagai aspek yang berkontribusi, mulai dari faktor biologis seperti genetik dan temperamen, faktor psikologis seperti kepribadian dan harga diri, faktor sosial seperti dukungan lingkungan serta pengalaman perundungan (bullying), hingga faktor spiritualitas yang turut berperan.
Penilaian tingkat keparahan dilakukan melalui asesmen klinis berupa wawancara, observasi, dan tes psikologi. Psikolog akan menentukan langkah terapi berdasarkan hasil asesmen tersebut. Bila gangguan telah mengganggu kualitas tidur atau fungsi hidup sehari-hari, psikolog dapat menyarankan klien berkonsultasi dengan psikiater untuk mempertimbangkan penggunaan obat.
Untuk penanganan psikologis, Khabibah mengandalkan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Metode ini membantu klien mengenali dan mengubah distorsi kognitif—pola pikir keliru yang memperkuat kecemasan, misalnya keyakinan bahwa semua orang memperhatikan atau menertawakan dirinya.
“Distorsi kognitif perlu dikoreksi dengan cara membingkai ulang pikiran menjadi lebih realistis, kemudian melatih mereka menghadapi situasi sosial yang ditakuti,” terang Khabibah.
Proses terapi dimulai dengan mengidentifikasi akar masalah dan pikiran negatif klien, membantu mengembangkan pola pikir yang lebih sehat, serta melakukan latihan pemaparan (eksposur) bertahap untuk menghadapi situasi sosial yang menimbulkan kecemasan.
Menutup pembicaraan, Khabibah menyampaikan pesan kepada mereka yang tengah berjuang menghadapi gangguan kecemasan sosial. “Pikiran kita itu seperti sutradara yang sering membuat skenario buruk padahal belum tentu benar. Belajarlah memilah mana pikiran yang layak dipercaya dan mana yang harus diabaikan. Ingat, perlakuan orang lain tidak menentukan kualitas diri kita,” ujarnya.
Dengan mengenali dan mengatasi gangguan kecemasan sosial, seseorang dapat membuktikan bahwa kehidupan tak harus diisi rasa takut, melainkan keberanian untuk tampil apa adanya.
Editor: Artika Sari Dewi