Fenomena penggunaan bahasa gaul di media sosial semakin berkembang di kalangan remaja digital. Salah satu contohnya terlihat pada unggahan TikTok dengan caption, “Namanya juga princess, bukan nabi boyy #pendakifomo.” Ungkapan ini menunjukkan cara remaja mengekspresikan diri secara santai sekaligus menggambarkan tren munculnya istilah baru dalam ruang komunikasi digital.

Generasi Z menjadi kelompok yang paling aktif dalam menciptakan dan menyebarkan bahasa gaul di media sosial. Mereka terbiasa berinteraksi melalui platform seperti TikTok yang kini menjadi ruang utama dalam membangun identitas diri, mengikuti tren.
Caption dengan hashtag #pendakifomo, #fomobanget,#pelarifomo dan masih banyak lagi mencerminkan gejala Fear of Missing Out (FOMO), yaitu rasa takut tertinggal dari tren atau kegiatan sosial yang sedang populer. Alt (2018) menjelaskan bahwa FOMO dapat menimbulkan kecemasan sosial dan mendorong individu untuk tetap aktif di dunia maya agar tidak merasa tertinggal. Dalam konteks ini, bahasa gaul menjadi sarana remaja untuk menunjukkan keterlibatan mereka dalam tren sosial yang sedang berlangsung.

Dari sisi kebahasaan, penggunaan kata seperti “princess”, “boyy”, serta emoji menjadi ciri khas gaya berbahasa generasi muda di dunia digital. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi diri dan simbol keakraban populer. Gaya bahasa santai dan campur kode antara bahasa Indonesia dan Inggris memperlihatkan kreativitas serta dinamika sosial yang tumbuh di kalangan pengguna TikTok.
Fenomena ini menegaskan bahwa bahasa terus berkembang seiring perubahan budaya digital. Media sosial, terutama TikTok, telah menjadi wadah bagi remaja untuk berekspresi, membentuk identitas, dan menunjukkan keterlibatan dalam tren global. Istilah seperti #fomo menjadi bukti bahwa bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga cerminan gaya hidup dan kondisi psikologis generasi muda di era serba digital.
Editor : Claresta Zalfa Kaulika
