
Purbalingga, 10 September 2025 – Di tengah menjamurnya kue kekinian dan jajanan modern, cita rasa tradisional tetap memiliki tempat di hati masyarakat. Salah satunya berasal dari lapak sederhana di depan Pegadaian Purbalingga, milik Trianti, penjual jajanan pasar yang telah berjualan lebih dari dua puluh lima tahun.
Setiap hari, sejak pukul enam pagi hingga sekitar setengah sepuluh, lapak kecil itu tidak pernah sepi pembeli. Di atas meja kayu tertata beragam jajanan klasik seperti cenil, lopis, getuk, grontol, dan klepon kecil. Banyak pembeli yang memilih lebih dari satu jenis jajanan untuk mencicipi kembali rasa masa kecil.
“Biasanya orang membeli lebih dari satu macam jajanan karena ingin mencoba dan penasaran,” ujar perempuan paruh baya itu sambil menata cenil hangat di atas daun pisang.
Cenil buatannya terbuat dari tepung tapioka yang diulen dengan air mendidih hingga kalis, lalu dibentuk kecil-kecil sebelum direbus. Setelah matang, cenil disajikan dengan parutan kelapa dan siraman gula merah cair. Kombinasi sederhana itu menghadirkan rasa kenyal, gurih, dan manis yang khas. Tidak mengherankan jika banyak pelanggan setia yang terus kembali.
Selama bertahun-tahun, lapak ini beberapa kali berpindah tempat, tetapi tetap berada di sekitar kawasan pusat kota Purbalingga. Kini, lokasinya menetap di depan Pegadaian, titik yang mudah dijangkau oleh pembeli.

Ketika ditanya alasan tetap berjualan jajanan tradisional, Trianti hanya tersenyum dan berkata, “Ya, bisanya membuat yang seperti ini saja.” Baginya, cenil bukan sekadar dagangan, melainkan bagian dari kehidupan yang telah ia kenal sejak lama.
Meski usianya tak lagi muda, semangatnya tidak surut. Setiap dini hari, perempuan itu mulai menyiapkan adonan agar setiap cenil tetap kenyal dan segar. Konsistensi dan ketulusannya menghadirkan bukan hanya penghasilan, tetapi juga menjaga warisan cita rasa lokal yang masih dicari banyak orang di tengah gempuran tren kuliner modern.
Di balik kesederhanaan cenil buatannya, tersimpan pesan lembut: kelezatan tidak selalu lahir dari kemewahan, melainkan dari tangan-tangan yang sabar dan setia menjaga rasa.
Editor: Arsy Sastra Dewi
