
Banjarnegara – Pasar Purwasaba, Banjarnegara pagi itu sudah dipenuhi keramaian pedagang dan warga. Deru mesin penggiling daging, teriakan penjual sayur, dan aroma gorengan bercampur menjadi kehebohan tersendiri. Di sudut timur pasar, seorang wanita paruh baya bersiap menjual jajanan khas dari Purwasaba, tumpukan keping renyah menunggu tangan pembeli. Inilah Watiem, pembuat dan penjual ondol gepeng, jajanan tradisional Desa Purwasaba yang mulai sulit ditemui dan diproduksi turun temurun oleh keluarga Watiem. “Saya mungkin salah satu dari sedikit orang yang masih menjual ondol gepeng”, ujarnya. Watiem juga menegaskan bahwa akar tradisi yang kuat dalam keluarganya, “Saya mulai membuat ondol gepeng sejak kecil, umur 4 tahun saya sudah ikut ibu membuat dan jualan”, ujarnya.
Perjalanan ondol gepeng Watiem dimulai jauh sebelum pasar buka. Di dapur rumahnya, sebelum fajar, Watiem menyiapkan adonan, menggoreng kepingan tipis, dan menata hasilnya agar dingin, proses yang sangat memerlukan ketelatenan. Produksi ondol itu ia lakukan di rumah bukan di pasar, jadi ia membawa ke pasar sudah matang dan dikemas dengan rapi di pasar. “Saya membuat dan digoreng di rumah, jadi ketika di pasar saya hanya tinggal mengemasnya di plastik”, ujarnya.
Resep ondol gepeng Watiem bukan resep baru. “Ini resep keluarga, diwariskan dari mbah. Ibu saya juga membuat dan menjuaknya, jadi sudah dari kecil dan lama”, tutur Watiem mengenang. Warisan ini bukan hanya tentang resep, tetapi juga kesabaran, ketelatenan, dan teknik saat membuat ondol gepeng ini berbeda dari yang lain. Pembuatan ondol gepeng ini adalah usaha keluarga. “Yang membantu saya membuat ondol gepeng ini anak saya,” kata Watiem. Kehadiran anaknya tidak hanya menambah tenaga, tetapi juga menjadi harapan regenerasi. Dari pengalaman kecilnya ikut ibu membuat ondol, Watiem berharap tradisi ini tetap hidup. “Saya ingin terus melestarikan jajanan tradisional ini. Mungkin anak cucu saya yang akan memasarkan hingga nanti keluar kota bahkan internasional,” ujarnya penuh harap.
Bahan dasar ondol gepeng ini sangatlah sederhana yaitu singkong yang diparut, diperas, lalu diberi bumbu, dan dipipihkan. ”Bahan dasarnya hanya dari singkong yang diparut, lalu diperas. Setelah itu adonan ditambahkan garam, bubuk kaldu, ketumbar, kemiri, setelah itu adonan dipipihkan kecil-kecil dan digoreng hingga kering dan kecoklatan”, jelasnya. Proses yang tampak sederhana itu menyimpan tips yang baik agar rasa dari ondol gepeng gurih dan enak, yaitu proporsi bumbu dan suhu minyak yang pas pada saat menggoreng agar ondol gepeng renyah hingga berhari-hari. Untuk variasi bentuk, ada juga yang dibuat bulat. “Kalau ondol yang bulat ini hanya dibuat bulat dan teksturnya empuk, renyah di luar dan empuk di dalam”, ujar Watiem. Biar bentuknya berbeda, tetapi bahan dasar dan prosesnya hamper sama, yaitu parut, peras, bumbu, pipihkan atau bulatkan, lalu goreng.
Produksi ondol gepengnya berjalan sejak fajar, dini hari. Di rumahnya, Watiem dan dibantu oleh sang anak menyiapkan singkong, dikupas, parut, peras, di bumbui, dan di goreng. Semua itu ia lakukan secara manual setiap harinya. Satu hal yang perlu dicatat, Watiem selalu membuat ondol gepeng setiap hari di pagi dini hari, semua ia lakukan agar ondol gepeng selalu baru dan fresh. “Saya selalu membuat ondol gepeng setiap hati di rumah, jadi yang saya jual selalu baru dan fresh.” ujarnya. Setelah dingin, ondol gepeng tersebut dikemas menggubaka plastik dengan berbagai macam harga mulai dari seribu rupiah hingga tiga puluh lima ribu rupiah.
Meski bercirikan tradisi dan rasa, ondol gepeng kini menghadapi tantangan nyata. “Sekarang anak-anak banyak yang memilih jajanan modern anak muda yang menarik, jadi ondol gepeng ini sudah mulai langka dan jarang ditemukan”, ungkap Watiem dengan prihatin. Perubahan selera generasi muda lebih tertarik pada makanan kemasan instan dan promosi digital yang menyebabkan permintaan menurun. Dengan kata lain, proses pembuatan yang cukup lama dan membutuhkan kesabaran serta dilakukan dengan cara manual, tak sebanding dengan harga jual yang relatif rendah. “Kesulitan pembuatannya lebih ke ondol gepengnya karena harus dipipihkan satu persatu terus digoreng sampai kering, dan itu sangat menguras tenaga”, ujarnya, kerja panjang yang kerap sulit sebanding dengan keuntungannya.
Namun, ada sisi lain yang memberi harapan. Produk ondol gepeng Watiem mampu menembus pesanan luat desa. “Saya juga melayani pesanan. Misalnya ada yang pesan untuk oleh-oleh dibawa ke Jakarta, ini bisa tahan sampai 10 harian karena kering. Untuk ondol bulat ketika sampai Jakarta pasti keras, caranya cukup direndam air panas lalu digoreng kembali”, ujarnya. Ketahanan produk ini menjadi nilai jual tersendiri.
Mirip tapi tak sama, mungkin banyak orang yang salah sangka dengan ondol gepeng ini karena hamper mirip dengan olahan singkong lainnya yaitu combro, tetapi dua jenis makanan ini berbeda, ondol gepeng hanya makanan yang terbuat dari bahan dasar singkong tanpa ada bahan tambahan lainnya, sedangkan combro ada bahan tambahan lain seperti oncom dan cabai. “Kalau ondol gepeng ini kan dari singkong yang diparut, diperas, dan diberi bumbu lalu dipipihkan. Kalau combro itu ditambahin cabai dan oncom,” jelasnya. Perbedaan ini bukan sekadar bahan, melainkan juga fungsi dan rasa ondol lebih condong ke renyah gurih sederhana, sedangkan combro punya cita rasa pedas dan isian oncom.
Di hadapan tantangan modernisasi, Watiem tetap teguh. Keinginannya sederhana namun kuat agar ondol gepeng tetap dikenal. “Saya berharap generasi muda mau mencobanya, agar tradisi kami ini tidak hilang,” katanya. Untuk itu, Watiem membuka diri mengajarkan proses pembuatan kepada siapa saja yang berminat, menjaga agar resep keluarga tidak hanya menjadi kenangan. Keping-keping ondol gepeng yang dijajakan Watiem bukan sekadar camilan, mereka adalah potongan sejarah keluarga dan identitas Purwasaba. Di tengah pasar yang terus bergeser, suara wajan penggorengan mungkin berkurang, tetapi bila ada orang yang mau menyimak dan mengambil alih, aroma itu akan tetap mengudara, mengikat generasi lalu dan yang akan datang dalam satu gigitan renyah.
Editor: Marsya Adinda Thalia Maliki Putri