Purwokerto – Di jalan Gunung Muria, Purwokerto Utara, berdiri sebuah warung mie ayam sederhana menyimpan rahasia kelezatan yang tak lekang oleh waktu. Selama lebih dari empat dekade, Ranto Sang Legendaris setia meracik mie ayam yang sudah menjadi penyelamat perut mahasiswa sejak tahun 1980 dari satu generasi ke generasi berikutnya . Di balik semangkuk mie ayamnya yang hangat, tersimpan jutaan kisah mulai dari perjuangan menyelesaikan tugas akhir, tawa lepas di sela-sela perkuliahan, hingga persahabatan yang terjalin. Mie ayam Ranto, salah satu ikon kuliner yang membuktikan bahwa cita rasa autentik adalah kunci untuk bertahan di hati para penikmatnya.
Kembali pada era 80-an, Ranto mengenang awal perjalanannya merintis usaha. Dengan tekad yang kuat, ia memutuskan untuk membuka warung mie ayam, dan mengawali usaha itu dengan resep racikan pribadi. Namun, di balik kelezatan yang melegenda, ia akhirnya membuka tabir resep autentiknya.
Ia tak ragu menyebutkan bahwa resep itu adalah kolaborasi dengan sang istri, sosok yang ia sebut sebagai inspirasi utamanya. “Kalau soal bumbu, istri saya itu ahlinya. Dia yang paling mengerti takaran dan campuran yang pas,” ujar Ranto sambil tersenyum hangat. “Awalnya kami berdua yang coba-coba resep, tapi sentuhan tangan istri yang membuat mie ayam ini punya karakter.” Sentuhan tangan sang istri yang sabar dan telaten membuat resep mie ayam sampai saat ini menjadi pondasi utama dari cita rasa, dan menjadikannya sebagai warisan keluarga yang tak ternilai.

Di balik kehangatan dan cerita, Ranto mengakui ada satu ujian terbesar yang harus ia hadapi setiap hari, yakni menjaga konsistensi cita rasa. Di tengah naik turunnya harga dan ketersediaan bahan baku, ia memiliki prinsip yang tak pernah dilanggar. “Kalau soal resep, saya itu sudah punya pakem sendiri,” ujar Ranto. “Resep yang saya pakai dari awal ya itu-itu saja, tidak pernah saya ubah.”
Tantangan itu terbukti nyata adanya terlebih lagi saat pelanggan sedang mengantri mie ayam “Pasti ada tantangannya setiap hari, apalagi kalau pembeli sudah ngantri banyak. Tapi, sebisa mungkin saya dan istri cara meraciknya harus tetap sama,” tegas Ranto. Ia juga mengaku kesulitan dalam mengatur kekentalan rasa, namun komitmennya pada resep legendaris inilah yang membuat setiap mangkuk mie ayamnya selalu terasa autentik.
Di tengah berbagai gempuran makanan yang viral seperti cimol dan seblak, Ranto tetap setia pada mie ayamnya. Ia memiliki alasan kuat yang membuatnya tidak tergoda untuk mengikuti tren musiman. “Sebelum ada cimol dan makanan-makanan jaman sekarang, mie ayam lebih dulu yang banyak diminati orang,” ungkapnya. Pilihan Ranto untuk mempertahankan identitasnya ini seolah membuktikan bahwa mie ayam bukan sekadar tren, melainkan kuliner klasik yang memiliki nilai historis dan tempat tersendiri di hati para pecinta mie ayam.

Untuk melengkapi pengalaman, para pembeli bisa memilih dari beberapa varian menu. Ranto menyediakan mie ayam dengan tiga pilihan topping, yaitu bakso, ceker, dan kepala ayam, yang dibanderol dengan harga 10 ribu setiap porsinya. Sementara itu, untuk satu porsi mie ayam biasa, pelanggan cukup membayar uang sebesar 8 ribu.
Pada akhirnya, warung sederhana mie ayam Ranto di jalan Gunung Muria bukan sekadar tempat mie ayam biasa. tempat adalah sebuah testimoni hidup tentang dedikasi, konsistensi, dan ketulusan hati yang tak lekang oleh zaman. Mie ayam ini membuktikan bahwa kelezatan sejati tak perlu rumit atau mengikuti tren. Cukup tulus dan setia pada cita rasa aslinya, dengan resep yang telah mengukir sejarah selama puluhan tahun bisa dipastikan bahwa mie ayam Ranto akan terus menjadi legenda, dan mewarnai kisah kuliner Purwokerto dari generasi ke generasi.
Editor: Okty Astri Rahmadani