Di TikTok, banyak istilah baru lahir dari celetukan para penggunanya. Salah satunya adalah celetukan “akal-akalan Barat”, ungkapan yang kini ramai digunakan di berbagai video dan kolom komentar. Istilah ini pertama kali terdengar dalam unggahan kreator @hadytrishadi pada 2 Mei 2025, ketika ia menilai bahasa tubuh dalam filter rating sambil melontarkan kalimat itu dengan nada ngegas dan lucu. Tanpa disangka, ucapannya menarik perhatian warganet dan segera menyebar ke berbagai unggahan lain, hingga menjadi bagian dari percakapan populer di TikTok.
Bagi banyak pengguna, frasa “akal-akalan Barat” terdengar lucu. Namun, di balik kelucuannya, istilah itu mengandung makna sosial yang lebih dalam. Umumnya, frasa tersebut digunakan untuk mengomentari hal-hal yang dianggap mengikuti gaya hidup Barat, seperti cara berpakaian, kebiasaan bergaul, atau bentuk interaksi sosial yang dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Dalam kolom komentar, warganet kerap menuliskan “akal-akalan Barat” untuk menandai sesuatu yang terasa asing atau “kebarat-baratan”, tanpa perlu menjelaskan lebih jauh.
Beberapa pengguna mengatakan baru mengenal istilah itu setelah menonton video @hadytrishadi, sementara yang lain mengaku sudah pernah mendengarnya dalam percakapan sehari-hari. Seperti ungkap salah satu komentar dari akun @d0olli3e.ho0_on1iesh yang berkomentar, “Gak juga sih, gue udah sering dengar orang bilang ‘akal-akalan Barat’ sebelum pemilik akun ini.” TikTok kemudian menjadi ruang yang mempercepat penyebarannya. Begitu satu video naik ke beranda, frasa itu menular dengan cepat melalui komentar dan fitur stitch yang memungkinkan pengguna lain ikut menimpali dengan versi mereka sendiri.
Di kolom komentar, berbagai reaksi bermunculan. Ada yang sekadar menirukan celetukan itu karena lucu, ada juga yang menggunakannya untuk menyindir tren gaya hidup yang dianggap berlebihan.
Cara istilah itu menyebar memberi gambaran menarik tentang bahasa di ruang digital. Di TikTok, kata dan frasa tidak hanya berpindah dari satu pengguna ke pengguna lain, tetapi juga berevolusi melalui konteks baru. Setiap kali diucapkan ulang, “akal-akalan Barat” bisa membawa nuansa yang berbeda seperti sindiran, lelucon, dan bentuk kritik budaya. Proses ini menggambarkan bagaimana bahasa di media sosial terbentuk secara kolektif, fleksibel, dan responsif terhadap situasi.
Fenomena seperti ini memperlihatkan hubungan erat antara bahasa dan budaya di media digital. Bahasa di media sosial tidak lagi hanya alat komunikasi, melainkan juga alat untuk menandai identitas dan pandangan budaya. Pengguna TikTok membentuk makna bersama melalui humor, ironi, dan kebiasaan berinteraksi yang khas dunia maya. “Akal-akalan Barat” menjadi salah satu bukti bahwa bahasa internet bisa tumbuh dari hal-hal kecil, sebuah celetukan yang kemudian hidup karena ditirukan dan dimaknai ulang oleh banyak orang.
Respons terhadap istilah ini pun beragam. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk humor khas masyarakat Indonesia yang mampu menertawakan fenomena globalisasi. Namun ada juga yang melihatnya sebagai tanda keengganan menerima hal-hal baru dari luar budaya sendiri. Meski begitu, mayoritas warganet memakainya sekadar untuk bersenang-senang, tanpa niat mengkritik siapa pun.
Fenomena “akal-akalan Barat” akhirnya menunjukkan bagaimana bahasa dan budaya terus berinteraksi di ruang digital. Frasa sederhana yang lahir dari satu video bisa berkembang menjadi bagian dari percakapan nasional. Di tengah derasnya arus globalisasi, istilah seperti ini menjadi cara masyarakat mengekspresikan sikapnya terhadap perubahan zaman melalui kritik maupun lelucon.
