Banjarnegara—Di era komunikasi daring yang semakin cepat, emoji dan stiker telah menjadi bentuk bahasa visual yang makin umum menggantikan kata. Fenomena ini terjadi terutama di platform seperti WhatsApp, Instagram, X (Twitter), Tiktok, Telegram, dan Facebook, baik di Indonesia maupun secara global.
Menurut hasil penelitian terbaru dari Universitas Negeri Surabaya (Bakhtiar dkk., 2022) dan Universitas Adhirajasa Reswara Sandjaya Bandung (Sukmawati & Hidayat, 2024), pengguna emoji dan stiker sangat kompleks yang terdiri dari berbagai kelompok usia, mulai dari remaja hingga orang tua, kini mengandalkan simbol visual sebagai bentuk ekspresi utama dalam komunikasi daring. Namun, sekarang bukan hanya remaja hingga orang tua bahkan anak-anak pun banyak yang menggunakan emoji dan stiker dalam komunikasi digital. Penggunaan emoji dan stiker ini secara signifikan meningkatkan intensitas emosional dalam pesan digital dibandingkan teks biasa saja.

Tren ini meningkat tajam sepanjang tahun 2023—2025. Menurut beberapa orang penggunaan emoji dan stiker ini dianggap lebih cepat, emosional, dan mudah dipahami daripada teks panjang.
Melalui symbol sederhana seperti senyum (😊) atau jempol (👍), pengguna dapat menyampaikan pesan emosional tanpa kata-kata, mengubah dinamika komunikasi digital yang sebelumnya bergantung pada teks. Di Indonesia, tradisi menulis panjang mulai dikurangi dalam pesan chat. Alih-alih mengetik “terima kasih banyak, saya akan datang”, banyak pengguna memilih menggunakan simbol person with folded hand (🙏) atau jempol (👍).
Namun, ada pula beberapa orang yang memilih untuk menggunakan pesan teks daripada emoji, salah satunya adalah Prima,seorang mahasiswa, yang menyatakan bahwa, “Saya lebih suka pesan yang ditulis langsung dengan teks, karena emoji sering kali membuat saya salah paham. Kadang saya tidak tahu maksud orang lain ketika mereka hanya mengirim satu simnol.” Hal serupa juga dikemukakan oleh Bahktiar dkk. (2022) dalam risetnya tentang Persepsi Penggunaan Emoji dalam Komunikasi Daring, yang sebagian responden menganggap penggunaan emoji kurang efektif dalam konteks formal atau akademik, karena tidak mampu menggantikan stuktur bahasa yang utuh. Hal ini juga selaras dengan pendapat Wirianti, 2023 bahwa emoji bersifat polisemis (memiliki banyak makna) dan sangat bergantung pada interpretasi penerima.

Penelitian Ikbal dkk. (2025) di Unimuda Sorong juga menambahkan dimensi baru, emoji jempol memiliki pengaruh signifikan hingga 74,7% terhadap kualitas komunikasi interpersonal mahasiswa, meskipun dapat menimbulkan ambiguitas makna tergantung konteks budaya dan hubungan antarindividu.
Dalam penelitian yang sama, Ariq Bakhtiar dkk. (2022) juga menjelaskan bahwa penggunaan emoji dalam komunikasi digital terbukti meningkatkan efektivitas komunikasi karena membantu menyalurkan ekspresi emosional dan mengurangi risiko kesalahpahaman. Teori Uses and Gratification yang digunakan dalam penelitian ini menegaskan bahwa pengguna aktif memilih emoji atau stiker untuk memenuhi kebutuhan emosional dan sosial mereka dalam interaksi daring.

Selain emoji, stiker juga memainkan peran penting dalam komunikasi digital. Penelitian Wirianti (2023) menunjukkan bahwa stiker berfungsi sebagai pesan nonverbal yang menggantikan bahasa tubuh, membantu mengekspresikan perasaan, membangun keintiman, dan memperkuat hubungan sosial. Dalam praktiknya, pemilihan antara emoji dan stiker pun dipengaruhi norma sosial. Seperti disampaikan Najwa, seorang mahasiswa, “Menggunakan emoji bisa menambah nilai kesopanan dan keramahan, tapi berbeda dengan stiker. Stiker kurang sopan jika digunakan untuk mengirim pesan kepada yang lebih tua seperti dosen atau guru. Biasanya saya memakai stiker hanya untuk orang-orang terdekat saja.”
Berdasarkan data survei nasional Hootsuite (We Are Social, 2024), lebih dari 92% pengguna internet di Indonesia aktif menggunakan emoji atau stiker setiap hari. Riset Nisrina Sukmawati & Dasrun Hidayat (2024) menemukan bahwa stiker WhatsApp pada kalangan orang tua di Bandung meningkatkan efektivitas komunikasi sebesar 68%, khususnya dalam mengekspresikan emosi dan mempererat hubungan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa digital telah berevolusi menjadi bahasa simbolik baru. Emoji dan stiker kini bukan sekadar pelengkap, tetapi menjadi alat komunikasi utama di era digital. Menurut pakar komunikasi Joseph DeVito (2016), komunikasi efektif tidak hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi juga oleh konteks sosial dan emosional yang mendasarinya. Dalam konteks ini, emoji berfungsi sebagai “bahasa emosional universal” yang mampu menjembatani jarak sosial, meskipun tetap bergantung pada interpretasi budaya.
Oleh karena itu, penting untuk selektif dalam menggunakan emoji atau stiker di ruang digital agar tidak menimbulkan salah paham maupun penyalahgunaan dalam komunikasi. Bahasa tanpa kata ini menandai perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi, dari teks ke ekspresi, dari kata ke simbol.

