Purwokerto – Gagap atau stuttering masih menjadi fenomena yang kerap disalahpahami di masyarakat, khususnya di lingkungan mahasiswa. Dalam kajian linguistik, gagap dipandang sebagai gangguan kelancaran berbicara yang tidak hanya berkaitan dengan aspek fonologi, tetapi juga koordinasi motorik bicara serta faktor psikologis penutur.
Secara global, penelitian menunjukkan bahwa gagap dialami sekitar satu persen populasi dewasa dan lima persen anak-anak pada masa perkembangan bahasa. Meskipun sebagian anak dapat pulih, sebagian lainnya tetap membawa kondisi tersebut hingga dewasa. Di Indonesia sendiri, fenomena gagap mulai menarik perhatian mahasiswa dan akademisi bahasa karena sering muncul dalam komunikasi sehari-hari namun jarang dibahas secara ilmiah.
Dalam wawancara, mahasiswa asal Cirebon bernama Rafli menjelaskan gambaran singkat mengenai kondisi tersebut.
“Saya pernah ketemu beberapa teman yang kadang gagap kalau lagi gugup atau ditanya mendadak. Tapi kalau lagi santai biasanya lancar,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap fenomena tersebut sebagai hal biasa. “Jarang yang mikir itu ada penjelasan ilmiahnya,” kata Rafli.
Pakar linguistik menegaskan bahwa gagap dapat muncul karena kombinasi faktor neurolinguistik, psikososial, dan lingkungan berbahasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa koordinasi otak dalam merencanakan ujaran pada individu yang gagap cenderung lebih lambat. Selain itu, tekanan emosi seperti gugup, kecemasan, atau situasi formal dapat memperburuk kondisi tersebut. Di beberapa daerah, termasuk Cirebon, pola campur kode dan gaya tutur lokal juga dapat memengaruhi kelancaran bicara seseorang.
Minimnya edukasi mengenai gagap menyebabkan sebagian masyarakat memaknai kondisi ini sebagai kelemahan atau kekurangan personal. Padahal, menurut para akademisi, gagap merupakan fenomena linguistik yang dapat ditangani melalui latihan kelancaran bicara, pendekatan terapeutik, serta dukungan lingkungan sosial.
Dengan meningkatnya pemahaman publik mengenai fenomena ini, mahasiswa yang mengalami gagap diharapkan dapat lebih percaya diri dalam kegiatan akademik, sementara lingkungan kampus dapat berperan dalam menciptakan atmosfer komunikasi yang bebas stigma.
