Purwokerto – Fenomena quarter life crisis semakin sering dialami oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Di usia yang seharusnya penuh semangat dan harapan, banyak mahasiswa justru diliputi kebingungan, kecemasan, dan tekanan batin tentang masa depan.
Kondisi ini umumnya muncul ketika mahasiswa mulai dihadapkan pada kenyataan hidup yang tidak selalu sejalan dengan rencana. Mereka mulai mempertanyakan pilihan jurusan, prospek karier, serta arti kesuksesan yang selama ini dikejar. Masa perkuliahan yang awalnya tampak sederhana perlahan berubah menjadi fase yang penuh pertanyaan dan perbandingan diri.
Media sosial turut memperkuat tekanan tersebut. Melihat teman sebaya yang terlihat “lebih sukses” sering kali menimbulkan rasa tertinggal dan tidak cukup berharga. Padahal, setiap orang memiliki waktu dan perjalanan hidupnya sendiri.
Banyak mahasiswa berusaha menghadapi krisis ini dengan berbagai cara. Ada yang mencoba menyalurkan keresahannya melalui kegiatan positif seperti menulis, berorganisasi, berkarya, atau mengembangkan usaha kecil. Namun, tidak sedikit pula yang masih berjuang memahami arah hidupnya di tengah tumpukan tugas dan ekspektasi yang tinggi.
Quarter life crisis menjadi tanda bahwa mahasiswa tidak hanya belajar tentang teori dan nilai, tetapi juga tentang cara bertahan menghadapi realita. Kampus diharapkan tidak hanya menjadi ruang akademik, melainkan juga tempat bagi mahasiswa untuk mengenal diri, membangun mental tangguh, dan menerima bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai rencana.
Sebab pada akhirnya, kedewasaan bukan diukur dari seberapa cepat mencapai tujuan, melainkan dari kemampuan untuk tetap berjalan, meski langkahnya penuh keraguan.
Editor:Ika Sari Nur Widya
