Panggung Kecil, Arti Besar: Tiga Lakon Mahasiswa PBI Unsoed Menggugah Penonton
Lampu panggung perlahan meredup. Suara langkah kaki terdengar lirih dari balik tirai Aula Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman. Malam itu, panggung sederhana berubah menjadi ruang refleksi kehidupan ketika mahasiswa semester 3 Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia mempersembahkan pertunjukan teater mereka.
Tiga judul lakon dipentaskan secara berurutan dalam 3 malam: Matahari di Sebuah Jalan Kecil, Orang-Orang di Tikungan Jalan, dan Bayang di Balik Singgasana. Dibawakan oleh mahasiswa yang masih berada di tengah perjalanan akademiknya, pertunjukan ini menunjukkan keberanian, kepekaan sosial, dan kematangan artistik yang patut diapresiasi.
Matahari di Sebuah Jalan Kecil: Kritik Sosial dalam Realis Komedi

dok.pribadi
Lakon pertama membuka malam dengan suasana ramai dan mengandung kritik terhadap pemerintah. Matahari di Sebuah Jalan Kecil mengisahkan kehidupan masyarakat pinggiran tentang kemiskinan, stigma, dan memungkinkan terjadinya banyak tindak kriminal. Seorang pemuda yang makan pecel dan tidak membayar dengan pura-pura ketinggalan uang. Bagaimana usahanya kabur dan menipu banyak orang.
Dialog-dialognya sederhana, tetapi menghantam perasaan penonton. Seorang ibu penjual pecel digambarkan sebagai sosok tabah yang harus menanggung cibiran dan prasangka.
Di tengah pertunjukan, seorang penonton berbisik pelan kepada temannya,
“Lucu. Selalu ada selipan komedi dan kritik sosial.”
Sementara penonton lain berujar usai adegan klimaks,
“Sad ending, tapi jujur. Rasanya seperti melihat kenyataan sehari-hari.”
Tepuk tangan panjang mengakhiri lakon ini, seolah menjadi pengakuan atas keberhasilan para pemain menyampaikan pesan kemanusiaan yang mendalam.
Orang-Orang di Tikungan Jalan: Fragmen Kehidupan yang Terlupakan

dok.pribadi
Berbeda dengan lakon pertama, Orang-Orang di Tikungan Jalan hadir dengan tempo lebih dinamis. Cerita berfokus pada sekumpulan manusia yang hidup di persimpangan yang ditampilkan baik secara harfiah maupun makna kehidupan. Mereka adalah simbol orang-orang kecil yang kerap luput dari perhatian, tetapi menyimpan kisah dan pergulatan batin yang kompleks.
Akting para pemain terasa hidup dengan dialog yang saling bertaut cepat. Beberapa adegan bahkan diselingi humor getir yang mengundang tawa sekaligus keheningan. Satu-persatu adegan dilematis muncul dan membagikan rasa emosionalnya.
Seorang penonton terlihat mengangguk-angguk sambil berkomentar,
“Drama banget, tapi nyentil. Kita sering jadi orang yang lewat di ‘tikungan’ hidup mereka.”
Lakon ini mengajak penonton untuk berhenti sejenak dan melihat kembali manusia-manusia yang selama ini hanya dilewati tanpa dipahami. Mulai dari orang yang kehilangan pasangan, perselingkuhan, bunuh diri dan sebagainya.
Bayang di Balik Singgasana: Rahasia Berantai Dibalik Kasta

dok.pribadi
Sebagai penutup, Bayang di Balik Singgasana tampil paling dramatik. Berlatar Bali sekitar akhir abad 19-an, lakon ini mengungkap sisi gelap di balik kemegahan tahta dan kasta. Gaya dan logat bahasa Bali terdengar sangat kuat dan muncul menjadi khas dari teater tersebut.
Permainan cahaya dan musik latar mempertegas suasana tegang. Penonton tampak terpaku, dan dengan seksama menikmati setiap adegan.
“Keren temanya Bali banget, serasa berada disana,” ujar seorang penonton dengan mata berbinar.
Penonton lain menambahkan,
“Endingnya plotwist banget. Gak nyangka sudra ternyata anaknya ksatria.”
Tirai menutup perlahan, disambut tepuk tangan gemuruh yang memenuhi aula.
Belajar Sastra Lewat Panggung
Pertunjukan ini bukan sekadar tugas perkuliahan, melainkan ruang belajar nyata bagi mahasiswa untuk memahami sastra, drama, dan kehidupan. Melalui teater, mereka belajar mengolah teks, emosi, kerja sama, dan keberanian tampil di hadapan publik.
Malam itu, panggung kecil di FIB Unsoed menjadi saksi bahwa sastra tidak hanya dibaca atau ditonton, tetapi juga dihidupkan. Dari jalan kecil, tikungan, hingga singgasana, mahasiswa semester 3 Pendidikan Bahasa Indonesia berhasil membuktikan bahwa suara mereka layak didengar. Dan bagi para penonton, pertunjukan ini meninggalkan lebih dari sekadar hiburan. Ia meninggalkan renungan.
