Aksi Muda: Bela Diri Tersembunyi di Balik Irama Rebana

Aksi Muda (Sumber: Dokumentasi Edi Sutrisno)

Purwokerto, 8 Oktober 2025 — Aksi Muda, kesenian tradisional dari Desa Tamansari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, ternyata memiliki sejarah yang berkaitan dengan masa penjajahan Belanda. Kesenian yang merupakan perpaduan tari dan pencak silat ini lahir dari strategi para pendekar zaman dahulu untuk menyamarkan latihan bela diri.

Edi Sutrisno (47 tahun), aktivis Aksi Muda, menjelaskan bahwa kesenian ini sudah ada sejak zaman kolonial. “Pada masa penjajahan, masyarakat tidak bebas membentuk pasukan atau melakukan latihan bela diri secara terbuka karena dilarang oleh penjajah. Maka dari itu, para pendekar zaman dahulu menyamarkan latihan bela diri dalam bentuk kesenian agar tidak menimbulkan kecurigaan,” ujarnya.

Gerakan dalam Aksi Muda yang tampak seperti tarian sebenarnya merupakan jurus-jurus bela diri. Kesenian ini telah diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang. Trisno sendiri sudah terlibat sejak duduk di bangku SD, dilatih langsung oleh ayahnya, Pak Pistam. Sebelumnya, ayahnya juga dilatih oleh Pak Kenny, menunjukkan bahwa regenerasi kesenian ini sudah berlangsung lama.

Aksi Muda menggunakan iringan musik rebana dan beduk. Dalam satu pertunjukan biasanya ditampilkan hingga 24 lagu dengan gerakan yang berbeda-beda. Para penari mengenakan kostum berupa baju dan celana pendek, gemboyok (hiasan kepala), selendang, kacamata, dan kaus kaki. Lagu-lagu yang dimainkan merupakan warisan leluhur dan tidak boleh diubah ataupun ditambah.

Saat ini peserta Aksi Muda berasal dari tingkat SD, SMP, hingga SMA. Dalam satu pementasan biasanya melibatkan sekitar 12 anak. Latihan rutin diadakan seminggu sekali pada Jumat malam di Balai Desa. “Kami mengadakan latihan seminggu sekali pada Jumat malam di Balai Desa karena memerlukan tempat yang cukup luas,” kata Trisno. Para peserta tidak hanya belajar gerakan tradisional, tetapi juga mengembangkan gerakan baru yang tetap selaras dengan tradisi.

Aksi Muda biasanya tampil di acara hajatan seperti khitanan, peringatan 17 Agustus, dan acara-acara penting desa lainnya. Kesenian ini dipilih karena lebih ramah dan tidak berbau mistis dibandingkan kesenian lain seperti ebeg. “Aksi Muda lebih ramah dan tidak menakutkan dibandingkan dengan ebeg yang sering dikaitkan dengan unsur mistis,” ujar Trisno.

Namun, pelestarian Aksi Muda tidak berjalan tanpa tantangan. Kendala utama adalah kurangnya regenerasi penabuh atau penayagan. Meskipun alat musik banyak tersedia, orang yang mampu menabuh dengan baik masih terbatas. Minat anak muda juga mulai menurun karena mereka lebih sering sibuk dengan gawainya.

Untuk mengatasi hal ini, ada beberapa upaya yang dilakukan. Pemerintah desa memberikan dukungan berupa bantuan pembelian kostum. Selain itu, saat ini sedang dijalin kerja sama dengan sanggar tari untuk kolaborasi pertunjukan yang lebih kompleks. Ada pula rencana untuk menjadikan Aksi Muda sebagai ekstrakurikuler di sekolah dasar.

Editor: Claresta Zalfa Kaulika

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *