Belajar Cepat, Lupa Lebih Cepat: Efek Budaya Instan di Dunia Kampus

Ajibarang– Di tengah derasnya arus digital, mahasiswa kini hidup di zaman serba instan. Informasi datang dari segala arah mulai dari video singkat, rangkuman daring, hingga kecerdasan buatan yang bisa menjawab tugas dalam hitungan detik. Semua terasa mudah, semua terasa cepat. Tapi di balik kemudahan itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah mahasiswa benar-benar belajar, atau sekadar mengejar hasil tanpa memahami prosesnya?

Fenomena belajar instan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kampus. Hampir setiap mahasiswa mengandalkan teknologi untuk mempercepat proses belajar.
Dini Jauhar, mahasiswa Teknologi Pangan, mengaku sering menggunakan platform digital dan AI untuk memahami materi kuliah dengan cepat.
“Sekarang semuanya harus serba cepat. Kalau nggak, bisa ketinggalan. Tapi kadang, setelah ujian, aku malah lupa semua materinya,” ujarnya

Hal serupa dirasakan oleh Lifi Maya, mahasiswa Biologi. Ia menilai, budaya instan bukan sekadar soal malas belajar, tetapi bentuk adaptasi terhadap tuntutan zaman.
“Menurut saya bukan nggak mau mendalami, tapi waktunya terbatas. Jadwal kuliah, tugas, dan kegiatan bikin kita cari cara tercepat. AI itu bantu banget, asal kita tahu cara pakainya karena dapat meringkas materi dan membuatnya lebih muda dipahami,” jelasnya.

Fenomena tersebut menggambarkan sisi lain dari dunia perkuliahan modern yaitu mahasiswa belajar cepat, tapi juga cepat melupakan. Fokus utama bergeser dari memahami menjadi menyelesaikan. Proses yang seharusnya membentuk karakter berpikir kritis kini sering kali hanya menghasilkan hafalan sementara.

Namun, budaya instan bukan musuh yang harus dihindari sepenuhnya. Justru di baliknya tersimpan potensi besar bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan literasi digital, adaptasi teknologi, dan manajemen waktu belajar. Dengan kemampuan ini, mahasiswa dapat belajar secara efisien tanpa kehilangan makna.

Implementasi konkret dari keterampilan literasi digital bisa dilakukan dengan cara sederhana menggunakan AI bukan sebagai pengganti otak, tetapi sebagai alat bantu berpikir. Misalnya, menjadikan ChatGPT sebagai partner diskusi ide, bukan mesin pencari jawaban; atau menulis refleksi pribadi setelah menggunakan sumber digital agar pemahaman tetap melekat.

Budaya instan seharusnya tidak menjauhkan mahasiswa dari esensi belajar, yaitu proses memahami, menganalisis, dan menerapkan ilmu. Di era serba cepat, mahasiswa ditantang untuk berinovasi dalam cara belajar yaitu lebih cerdas, bukan sekadar lebih cepat. Dunia kampus bukan hanya ruang untuk menyelesaikan tugas, melainkan tempat untuk tumbuh dan membentuk karakter berpikir.

Editor: Windi Srimulyati

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *