Purwokerto—Penggunaan campur kode di kalangan mahasiswa bukan hal baru, terutama bagi mereka yang terbiasa memakai lebih dari satu bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Ridwan, mahasiswa asal Cirebon yang kini menempuh studi di Universitas Jenderal Soedirman, menceritakan bagaimana kebiasaan berbahasa campur kode Cirebon–Indonesia muncul dalam keseharian akademiknya.
Ridwan mengatakan bahwa campur kode tidak sampai menghambat proses kuliah. “Pengaruhnya ke aktivitas kuliah sebenarnya nggak besar. Biasanya munculnya pas ngobrol santai sama teman, bukan pas belajar,” ungkapnya ketika ditemui di lingkungan kampus.
Ia menjelaskan bahwa tantangan justru terasa pada momen-momen formal. Dalam presentasi atau penulisan tugas, ia harus lebih berhati-hati agar tidak spontan memasukkan kosakata berbahasa Cirebon. “Kalau tugas atau presentasi kan harus resmi. Nah, di situ saya biasanya lebih waspada supaya nggak kebiasaan nyelipin bahasa daerah,” jelasnya.
Ridwan juga menuturkan dua kondisi utama yang sering memicu keluarnya campur kode. Yang pertama adalah saat ia merasa gugup. Menurutnya, ketika gugup, alur pikir menjadi kurang teratur sehingga kata yang muncul bisa berasal dari bahasa mana pun yang terlintas lebih dulu. Kondisi kedua adalah saat ia sedang bercakap ringan dengan teman-teman. “Kalau lagi santai, campur kode keluar begitu saja. Karena di keseharian saya memang sering bolak-balik dua bahasa itu, jadi otomatis muncul,” katanya.
Meski demikian, Ridwan menegaskan bahwa penggunaan campur kode lebih merupakan kebiasaan linguistik daripada hambatan akademik. Ia melihatnya sebagai bagian dari identitas berbahasa yang tetap bisa dikendalikan sesuai konteks.
