
Purwokerto, 12 November 2025 — Fenomena bahasa gaul digital semakin merebak di kalangan remaja Indonesia. Istilah seperti slay, bestie, anjay, hingga nolep kini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga dalam berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Bahasa gaul ini lahir, berkembang, dan menyebar begitu cepat mengikuti arus tren digital yang terus berubah.
Berdasarkan kajian linguistik digital (Dewi, 2025), fenomena bahasa gaul di dunia maya mencerminkan cara baru generasi muda dalam mengekspresikan identitas diri dan membangun koneksi sosial. Bahasa tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan juga sarana untuk menunjukkan kepribadian, kreativitas, serta kedekatan dengan budaya global.
Digitalisasi membuat proses penyebaran bahasa menjadi lebih cepat dan masif. Ungkapan yang awalnya hanya digunakan di satu komunitas kecil bisa menjadi viral dalam hitungan jam, lalu diadopsi oleh jutaan pengguna media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat dinamis dan terus beradaptasi dengan konteks zaman.
Dari sisi sosial budaya, bahasa gaul digital juga menjadi bentuk solidaritas dan kebersamaan antarremaja. Dengan menggunakan istilah yang sama, mereka merasa menjadi bagian dari kelompok yang memahami budaya dan tren yang sama. Namun, di sisi lain, penggunaan berlebihan tanpa kontrol dapat mengaburkan batas antara bahasa gaul dan bahasa baku yang seharusnya digunakan dalam konteks formal.
Dalam dunia pendidikan, guru bahasa dan pegiat literasi digital berperan penting untuk menumbuhkan kesadaran berbahasa yang seimbang. Penggunaan bahasa gaul boleh saja, selama tidak menghilangkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Melalui pendekatan literasi digital, siswa diajak memahami bahwa setiap bentuk bahasa memiliki konteks penggunaannya masing-masing.
Akhirnya, fenomena bahasa gaul digital menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya menjadi pengguna bahasa, tetapi juga pencipta tren linguistik baru. Bahasa menjadi wadah kreativitas, inovasi, dan refleksi budaya zaman digital yang terus berkembang.
Editor : Dhia Salsabila Febriyana
