Purwokerto, 20 November 2025

Menjadi guru tak hanya soal profesi, tetapi juga panggilan jiwa. Namun, bagi beberapa mahasiswa pendidikan di berbagai universitas, perjalanan menuju gelar sarjana pendidikan tidaklah mudah. Di tengah perubahan kurikulum, tuntutan kompetensi bahasa yang semakin tinggi, dan adaptasi teknologi, para calon guru menyampaikan berbagai curahan hati mengenai beratnya perjuangan menjejaki dunia pendidikan.
Di Universitas Jenderal Soedirman, sejumlah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia membagikan pengalaman mereka mengenai dinamika menjalani perkuliahan, mengikuti berbagai kegiatan akademik maupun organisasi, mempersiapkan diri menjadi pendidik yang kompeten, profesional, dan siap menghadapi dunia kerja.
Galuh Indriyanti, salah satu mahasiswa tingkat akhir, mengungkapkan bahwa strategi tindakan kelas merupakan hal yang paling sulit dikuasai. Sebagai mahasiswa yang sudah pernah turun ke sekolah, Galuh mengaku kesulitan beradaptasi di kelas yang terlalu pasif maupun terlalu aktif, dan hal tersebut diluar espektasinya. “Guru itu harus tahu kebutuhan siswa, dan siswa itu berbeda-beda sehingga kita harus punya keberanian lebih untuk memberikan tindakan yang tegas dan mendidik,” jelasnya.
Galuh menambahkan bahwa mahasiswa calon guru sering kali harus belajar lebih mandiri karena perkembangan dunia pendidikan berjalan sangat cepat dan serba digital. Calon guru dituntut menghadapi pembelajaran dan administrasi yang rumit serta jalan menuju profesi tersebut cukup panjang dan kompleks, dengan jaminan yang tidak sepadan. Hal ini membuat para mahasiswa calon guru berpikir kembali untuk melanjutkan cita-citanya.
Sementara itu, Nabilah, mahasiswa semester 5, menyampaikan bahwa ia tidak ingin terlalu berharap menjadi guru dan fokus mengembangkan potensinya yang lain. Nabilah mengaku mengalami rasa ragu ketika menjalani perkuliahan. “Untuk sekarang ya, saya tidak terlalu ingin jadi guru. Belum terpikirkan lanjut PPG atau nggak. Sekarang sih fokus mencari hal baru aja,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Lintang Nasywaa, dimana dia merasa memiliki keinginan lain selain menjadi guru. Hal ini disampaikannya saat diwawancara, dimana saat ia melihat materi-materi yang disampaikan harus serba menyenangkan dan berbasis digital, menimbulkan ketakutan tersendiri. “Jujur takut sih, karena anak sekarang sudah semakin pintar dan peran guru semakin terpinggirkan. Takutnya tidak bisa menghadapi siswa dengan baik ditambah administrasi yang lumayan banyak,” ujarnya.
Jaminan kecil dan persaingan yang semakin ketat juga menjadi tantangan yang tak kalah sulit. Setelah menjalani kuliah, PPG, dan melamar kerja, guru kerap kali mendapatkan upah yang tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari. Perjalanan dari honorer menuju P3K yang rumit menjadi bayang-bayang yang ada dipikiran mahasiswa, sehingga banyak mahasiswa yang berencana mencari tambahan dengan bisnis diluar profesi bahkan memilih banting stir ke pekerjaan lain.
Namun, bagi sebagian mahasiswa, tantangan dan kesulitan harus tetap ditempuh untuk menggapai cita -cita yang pernah diimpikan sebelumnya, yaitu menjadi guru. Sebagian mahasiswa melanjutkan perjuangan demi keinginan orang tua dan harapan sukses di masa depan. Mereka berharap pemerintah dapat ikut serta membantu mencari jalan keluar untuk kesulitan yang dihadapi para calon guru.
Curhatan para calon guru ini menjadi gambaran bahwa pendidikan bukan sekadar profesi, melainkan perjalanan panjang yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan cinta terhadap profesi. Di tengah gempuran teknologi dan dinamika zaman, mereka terus melangkah membuktikan bahwa guru masa depan lahir dari jiwa yang kuat serta dedikasi yang tak tergantikan.
Editor: Arsa Rahman Hidayatulloh
