Dari Makasih menjadi Arigatou: Perpaduan Dua Dunia dalam Bahasa

Purwokerto“Yabai banget, sensei-nya kawaii!” begitu ujaran yang kerap terdengar di kalangan remaja Indonesia penggemar budaya Jepang. Fenomena pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang oleh netizen, yang sering disebut bahasa wibu atau weeboo, semakin menjamur di media sosial dan percakapan sehari-hari. Tak hanya di forum daring, tuturan seperti “arigatou guys!” atau “kamu sugoi banget” kini telah menjadi bagian dari identitas gaya berbahasa generasi muda Indonesia, terutama sejak maraknya pengaruh budaya populer Jepang dalam lima tahun terakhir.

Postingan akun Instagram Ferry Irwandi (Sumber: Instagram @irwandiferry)

Fenomena ini paling sering muncul di media sosial seperti TikTok, X, dan Instagram, di mana komunitas wibu saling berinteraksi menggunakan campuran bahasa Jepang dan Indonesia. Penggunaan frasa seperti “ohayo guys”, “minna ayo belajar”, hingga “baka kamu!” tidak hanya mencerminkan kedekatan mereka dengan budaya Jepang, tetapi juga menunjukkan bentuk kreativitas linguistik yang mencerminkan identitas sosial dan komunitas digital yang khas.

‎Fenomena ini bukan sekadar tren tanpa makna. Perilaku alih kode eksternal, yakni perpindahan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing seperti Jepang, terjadi untuk menunjukkan identitas kelompok dan efisiensi berekspresi. Penutur bilingual kerap secara sadar atau tidak menyisipkan unsur bahasa lain sebagai penanda kedekatan sosial dan budaya. Sementara itu, campur kode bahasa muncul karena faktor informalitas dan keterbatasan padanan kata. Dalam konteks weeboo, hal ini menunjukkan bahwa penutur berusaha menyesuaikan diri dengan identitas komunitas yang dianggap “berbudaya Jepang”.

Ungkapan-ungkapan khas seperti “watashi” atau “minna” bagi sebagian penutur bukan lagi sekadar gaya bicara, melainkan cara menegaskan siapa diri mereka di dunia maya. Seperti yang diungkapkan oleh seorang influencer Ferry Irwandi, dalam salah satu unggahan pada 3 November 2025, dengan keterangan:

Watashi di sini mau klarifikasi, mengenai berita yang santer beredar belakangan ini di antara para ningen, watashi bukan tim onodera, tolong sudahi tuduhan itu bakemono. Watashi tidak ikut-ikutan hal-hal berbau bawang seperti itu, watashi sibuk menyusun deck winged kuriboh yang sudah dilengkapi berbagai support dan trap baru lebih sedikit.”

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana penggunaan campuran bahasa Indonesia dan Jepang bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga sarana ekspresi diri dan humor khas komunitas daring. Bagi sebagian orang mungkin terdengar “aneh” atau “norak”, namun bagi penuturnya, gaya ini adalah bentuk kebanggaan terhadap budaya yang mereka cintai sekaligus simbol keakraban di antara sesama penggemar.

Fenomena weeboo speak memperlihatkan bagaimana bahasa menjadi alat identitas sekaligus jembatan budaya. Di tangan para remaja, bahasa bukan lagi sekadar alat untuk berbicara, melainkan ruang bermain yang kreatif, dan terus berubah mengikuti arus globalisasi budaya.

Editor: Muhammad Faqih Yahya

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *