Amin Ningsih bersama para muridnya (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Purwokerto, 3 September 2025 – Kepedulian seorang wanita di Desa Panisihan terhadap masa depan pendidikan anak-anak melahirkan sebuah lembaga pendidikan yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Desa Panisihan, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap. Sosok itu ialah Amin Ningsih, pendiri PAUD Roudlotuz Zahro pada tahun 2007. Saat itu, ia melihat hanya ada Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) dengan biaya cukup memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Dari situlah, ia bertekad menghadirkan pendidikan anak usia dini yang terjangkau, ramah, dan menyenangkan. Berlokasi di Jalan Raya Panisihan RT 02 RW 04, tepat di samping Masjid Nurul Huda, PAUD Roudlotuz Zahro kini menjadi pilihan banyak orang tua karena mudah diakses anak-anak dari berbagai dusun.
Awal berdirinya PAUD tidak lepas dari peran Hj. Siti Aisyah, tutor setia Amin. Mereka memanfaatkan ruang tamu kediaman Ibu Aisyah dan mushola untuk kegiatan belajar anak-anak. “Awalnya kami mendata anak-anak usia dini di sekitar, lalu mengajak para orang tua menitipkan anaknya belajar bersama. Tidak ada biaya sama sekali, justru kami berusaha memberikan yang terbaik, bahkan menyediakan makanan tambahan agar anak-anak tumbuh sehat,” kenang Amin sambil berkaca-kaca. Dukungan sederhana itu menjadi fondasi awal perjalanan panjang PAUD Roudlotuz Zahro.
Pendanaan pertama tidak berasal dari pemerintah, melainkan dari jamaah majelis taklim yang dipimpin Ibu Hj. Siti Aisyah. PAUD berjalan dalam keterbatasan, tetapi semangat pengelolanya tidak pernah padam. Setelah Ibu Aisyah wafat, Amin terus berjuang agar lembaga ini mendapat pengakuan pemerintah desa meski awalnya sering ditolak. Perlu hampir 10 tahun hingga pada 2016 PAUD Roudlotuz Zahro akhirnya memperoleh dukungan gedung dan akreditasi. “Itu titik baliknya. Sejak saat itu, masyarakat percaya PAUD Roudlotuz Zahro berkomitmen menjadi lembaga pendidikan anak-anak,” ujarnya.
Perjalanan tidak selalu mudah. Hanya 50 meter dari PAUD, berdiri sekolah bonafide dengan fasilitas lengkap yang lebih sering dipilih masyarakat meski biayanya tinggi. Sementara itu, sebagian warga masih menganggap pendidikan anak usia dini tidak penting. “Tantangan terberat adalah mengubah pola pikir masyarakat. Padahal usia emas, 1-6 tahun, justru paling menentukan,” tegas Amin. Ia terus berusaha meyakinkan warga akan pentingnya pendidikan di masa awal kehidupan anak.
Seiring waktu, dukungan mulai datang. Pemerintah desa memberikan kesempatan, para pendidik ikut bergabung, paguyuban wali murid mendorong, dan masyarakat pun perlahan percaya. Walau jumlah murid naik turun, aktivitas PAUD terus berkembang. Kurikulum pemerintah diterapkan menyeluruh, mulai dari pengenalan akademik dasar, pembentukan karakter, hingga stimulasi sosial dan motorik anak. Keterlibatan banyak pihak membuat PAUD tetap bertahan hingga kini.
Kiprah Amin tidak berhenti di situ. Sejak 2008, ia aktif di Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) Kecamatan Maos. “Setelah aktif di PAUD, kami bergabung dengan HIMPAUDI dan saya langsung dipercaya sebagai seksi organisasi,” ujarnya. Dari sini, reputasinya semakin meluas dan jejaringnya semakin kuat. Pengalaman itu memberinya banyak pengetahuan baru.
Keaktifannya mengantarkan Amin menjadi wakil HIMPAUDI selama tiga periode berturut-turut. Ia bahkan berkesempatan mewakili Kecamatan Maos dalam diskusi bersama Kementerian Pendidikan dan DPR RI Komisi X di Jakarta. “Itu pengalaman paling berkesan. Bisa duduk di Gedung DPR RI, berdiskusi langsung soal pendidikan anak usia dini,” katanya penuh semangat. Dari HIMPAUDI ia banyak belajar. “Selain menambah teman, saya mendapat ilmu baru tentang pendidikan anak, sekaligus bisa berbagi pengalaman dengan sesama pendidik,” tambahnya. Semua itu memperkuat komitmennya di dunia pendidikan.
Saat dipercaya menjadi ketua HIMPAUDI, Amin memilih mundur. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena ia juga satu-satunya perempuan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Panisihan. “Saya khawatir tidak bisa membagi waktu dengan baik. Lebih baik saya tetap berkontribusi sebagai penasihat HIMPAUDI sehingga bisa mendukung teman-teman tanpa mengorbankan tugas di BPD,” jelasnya. Hingga kini, ia tetap menjadi rujukan utama anggota HIMPAUDI. Keputusannya mencerminkan sikap bijak dalam membagi tanggung jawab.

Perjalanan Amin di BPD pun penuh dinamika. Sebagai satu-satunya perempuan, ia menghadapi pandangan miring dari sebagian pihak. “Wajar bila ada yang suka dan ada yang tidak. Kadang manis di depan, tapi menusuk di belakang. Pernah saya merasa down mendengar ucapan mereka, meski saya sudah bekerja sesuai tugas,” tuturnya. Meski begitu, Amin tidak gentar. Ia percaya keberadaannya membawa makna penting. Kehadirannya memberi ruang bagi aspirasi perempuan dalam pengambilan keputusan desa.
Masyarakat pun memberi kepercayaan penuh. Amin kerap dipilih mewakili desa dalam berbagai acara tingkat kecamatan hingga kabupaten. Meski sibuk, ia tetap menempatkan keluarga sebagai prioritas. “Saya tetap seorang ibu rumah tangga. Jadi prioritas utama adalah keluarga. Tapi dengan manajemen waktu, semuanya bisa berjalan seimbang,” ujarnya. Ia menunjukkan bahwa peran publik dapat berjalan beriringan dengan tanggung jawab domestik.
Makna menjadi satu-satunya perempuan di BPD baginya sangat jelas, yakni keterwakilan. “Makna terpenting adalah menjadi simbol keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan desa. Dengan begitu, suara perempuan tidak lagi terabaikan,” katanya. Ia menegaskan kesetaraan bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan nyata. “Pembangunan desa harus melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa memandang gender. Kehadiran perempuan itu sangat penting,” tambahnya. Pandangan itu memperkuat posisi perempuan dalam pembangunan.
Amin juga menaruh harapan besar pada masa depan pendidikan di desanya. Ia ingin pendidikan anak usia dini semakin diakui dan dipandang sebagai fondasi pembentukan karakter. “Semoga pendidikan anak usia dini di Desa Panisihan semakin maju, melahirkan anak-anak berkarakter, cerdas, dan percaya diri,” ungkapnya penuh harap. Baginya, pendidikan adalah investasi berharga. Harapan itu terus menjadi penyemangat perjuangannya.
Pesannya untuk generasi muda, khususnya perempuan, sangat tegas. “Jangan minder. Tunjukkan kreativitas dan prestasimu. Apa yang kamu lakukan hari ini bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat,” katanya. Ia yakin di masa depan, perempuan desa akan berperan lebih besar dalam pembangunan. Peran itu bisa diwujudkan dalam pendidikan, kesehatan, maupun perekonomian keluarga. Pesan ini ia tujukan agar perempuan berani tampil dan berkarya.
Meski mengakui dukungan pemerintah terhadap PAUD dan HIMPAUDI masih minim, Amin tidak kehilangan asa. Pendidik PAUD belum diakui sebagai guru, tidak masuk skema ASN maupun PPPK, serta hanya menerima honor sekitar Rp200.000 per bulan. Namun, ia tetap teguh pada niatnya. Amin bahkan bertekad melanjutkan pendidikan formal di bidang anak usia dini.
“Cita-cita saya sederhana: melanjutkan pendidikan supaya punya bekal ilmu lebih banyak. Dengan itu, saya bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di desa ini,” pungkasnya. Ia percaya tekad yang kuat mampu melampaui keterbatasan.
Ketekunan Amin Ningsih dalam mendidik anak-anak sekaligus memperjuangkan peran perempuan membuktikan bahwa perempuan desa tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari langkah sederhana mendirikan PAUD di ruang tamu hingga dipercaya sebagai penasihat organisasi tingkat kecamatan, Amin menunjukkan perempuan memiliki ruang penting dalam pembangunan masyarakat. Kehadirannya bukan hanya memberi akses pendidikan murah, tetapi juga menjadi simbol keberanian perempuan untuk bersuara, berkontribusi, dan membawa perubahan. Di tengah keterbatasan, ia menegaskan pendidikan dan kesetaraan adalah fondasi desa yang lebih maju.
Editor: Aulia Qolbu Ghoefira