
(sumber: google)
Fenomena fatherless makin mencuat beberapa waktu belakangan. Pada mulanya fatherless dipahami sebagai istilah dimana seorang anak mengalami kekurangan peran seorang ayah, baik karena meninggal dunia, perceraian atau status pekerjaan ayah yang mengharuskan jauh dari rumah seperti pelaut, tentara, dan TKI. Namun kata fatherless mengalami perluasan makna, yakni kurangnya keterlibatan atau peran seorang ayah meskipun ia ada di rumah.
Dalam jurnal Nusantarahasana, dilakukan penelitian yang menunjukkan bahwa keterlibatan ayah bermanfaat jika dilakukan dengan cara yang menyenangkan, positif, hangat, dan membangun. Keterlibatan ayah dalam perkembangan anak juga memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang. Itu artinya, peran seorang ayah tidak hanya sebagai pencari nafkah tetapi juga menjadi sosok yang bisa menaungi dan mengayomi anggota keluarga. Ayah menjadi tulang punggung sekaligus tempat untuk sorang anak sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh perhatian.
Melansir dari laman CNN, angka fatherless di Indonesia menjadi yang terbanyak ke-3 di dunia. Hal ini tentunya menyebabkan banyak permasalahan, karena seoang anak yang tumbuh tanpa peran seorang ayah akan menjadi pribadi yang labil, mental yang tidak sehat dan bias dalam tingkah laku. Kehadiran ayah secara fisik, tetapi tidak secara emosional menyebabkan ketidakseimbangan pola asuh. Anak dengan fatherless akan mencari refrensi lain diluar rumah yang belum tentu baik. Sebagian besar menyebabkan anak terjebak dalam pergaulan bebas, berhubungan tidak sehat bahkan keterpurukan emosional.
DAMPAK PSIKOLOGIS DAN SOSIAL
Bagi mahasiswa, masa kuliah adalah saat-saat pencarian jati diri, belajar mandiri dan penguatan nilai-nilai kehidupan. Kehadiran sosok ayah berperan penting untuk stabilitas emosional. Mahasiswa dengan fatherless menimbulkan banyak dampak psikologis seperti ketidakpercayaan diri, kesulitan mengambil keputusan dan muncul prilaku-prilaku impulsif.
Mahasiswa yang tumbuh dalam keluarga fatherless cenderung mengalami attachment insecurity, yakni ketakutan kehilangan kasih sayang dan kesulitan menjalin hubungan interpersonal yang sehat. Mereka mungkin tampak mandiri, tetapi di dalamnya terdapat kegelisahan eksistensial yang mendalam. Hal ini sering tampak dalam bentuk perilaku impulsif, pencarian jati diri ekstrem, atau bahkan penarikan diri dari lingkungan sosial kampus.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus ditemukan mahasiswa cenderung aktif diberbagai kegiatan, organisasi dan kepanitiaan. Hal ini dilakukan untuk mencari perhatian lebih atau atensi karena tidak didapatkan di rumah. Mahasiswa seperti ini akan melakukan banyak hal yang berlebihan dan terkesan menyiksa diri untuk mendapatkan perhatian yang diinginkan. Tak hanya berlaku dalam ranah yang positif, hal ini juga bisa fatal apabila mahasiswa mendapatkan lingkungan pertemanan yang buruk. Ia bisa terbawa arus pergaulan yang menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Selain itu, secara akademik, mahasiswa dengan latar belakang fatherless sering kali menghadapi kesulitan dalam hal disiplin dan fokus belajar. Sosok ayah yang ideal biasanya menjadi teladan tanggung jawab, kerja keras, dan keteguhan prinsip. Tanpa panutan ini, mahasiswa berpotensi kehilangan arah, mudah menyerah pada tekanan, dan lebih rentan terhadap stres akademik maupun sosial.
KRISIS IDENTITAS DAN RELASI DENGAN OTORITAS
Ketiadaan figur ayah juga berdampak pada cara mahasiswa memandang otoritas dan tanggung jawab. Banyak di antara mereka yang sulit menerima bimbingan atau kritik karena tidak pernah terbiasa dengan pola komunikasi yang sehat antara anak dan ayah. Di sisi lain, sebagian justru mencari figur pengganti ayah di luar keluarga baik dalam bentuk dosen, senior, atau bahkan kelompok pertemanan yang tidak selalu memberi pengaruh positif.
Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa sebagian mahasiswa tampak mengalami krisis identitas, mudah terombang-ambing oleh ideologi baru, dan sulit menemukan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dosen dan lembaga kampus untuk tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai lingkungan yang mendukung pertumbuhan emosional dan karakter mahasiswa.
PERAN PENDIDIKAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL
Kampus dan lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membantu mahasiswa fatherless menemukan kembali arah hidupnya. Dengan bimbingan konseling, program mentoring, dan kegiatan pengembangan diri bisa menjadi wadah penyembuhan emosional. Mahasiswa perlu diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi, belajar tentang ketahanan mental, dan memahami pentingnya relasi sehat antara laki-laki dan perempuan.
Editor: Fitria Anggi Haryani
FATHERLESS MAHASISWA: EFEK DOMINO
SAMPAI KULIAH
Fenomena fatherless
makin mencuat beberapa waktu belakangan. Pada mulanya fatherless dipahami
sebagai istilah dimana seorang anak mengalami kekurangan peran seorang ayah,
baik karena meninggal dunia, perceraian atau status pekerjaan ayah yang
mengharuskan jauh dari rumah seperti pelaut, tentara, dan TKI. Namun kata
fatherless mengalami perluasan makna, yakni kurangnya keterlibatan atau peran
seorang ayah meskipun ia ada di rumah.
Dalam jurnal Nusantarahasana,
dilakukan penelitian yang menunjukkan bahwa keterlibatan ayah bermanfaat jika
dilakukan dengan cara yang menyenangkan, positif, hangat, dan membangun.
Keterlibatan ayah dalam perkembangan anak juga memberikan kesempatan kepada
anak untuk berkembang. Itu artinya, peran seorang ayah tidak hanya sebagai
pencari nafkah tetapi juga menjadi sosok yang bisa menaungi dan mengayomi
anggota keluarga. Ayah menjadi tulang punggung sekaligus tempat untuk sorang
anak sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh perhatian.
Melansir dari laman CNN,
angka fatherless di Indonesia menjadi yang terbanyak ke-3 di dunia. Hal
ini tentunya menyebabkan banyak permasalahan, karena seoang anak yang tumbuh
tanpa peran seorang ayah akan menjadi pribadi yang labil, mental yang tidak
sehat dan bias dalam tingkah laku. Kehadiran ayah secara fisik, tetapi tidak secara
emosional menyebabkan ketidakseimbangan pola asuh. Anak dengan fatherless akan
mencari refrensi lain diluar rumah yang belum tentu baik. Sebagian besar
menyebabkan anak terjebak dalam pergaulan bebas, berhubungan tidak sehat bahkan
keterpurukan emosional.
DAMPAK PSIKOLOGIS DAN
SOSIAL
Bagi mahasiswa, masa
kuliah adalah saat-saat pencarian jati diri, belajar mandiri dan penguatan nilai-nilai
kehidupan. Kehadiran sosok ayah berperan penting untuk stabilitas emosional. Mahasiswa
dengan fatherless menimbulkan banyak dampak psikologis seperti
ketidakpercayaan diri, kesulitan mengambil keputusan dan muncul prilaku-prilaku
impulsif.
Mahasiswa yang tumbuh
dalam keluarga fatherless cenderung mengalami attachment insecurity,
yakni ketakutan kehilangan kasih sayang dan kesulitan menjalin hubungan
interpersonal yang sehat. Mereka mungkin tampak mandiri, tetapi di dalamnya
terdapat kegelisahan eksistensial yang mendalam. Hal ini sering tampak dalam
bentuk perilaku impulsif, pencarian jati diri ekstrem, atau bahkan penarikan
diri dari lingkungan sosial kampus.
Sebaliknya, dalam
beberapa kasus ditemukan mahasiswa cenderung aktif diberbagai kegiatan,
organisasi dan kepanitiaan. Hal ini dilakukan untuk mencari perhatian lebih
atau atensi karena tidak didapatkan di rumah. Mahasiswa seperti ini akan
melakukan banyak hal yang berlebihan dan terkesan menyiksa diri untuk
mendapatkan perhatian yang diinginkan. Tak hanya berlaku dalam ranah yang
positif, hal ini juga bisa fatal apabila mahasiswa mendapatkan lingkungan
pertemanan yang buruk. Ia bisa terbawa arus pergaulan yang menyebabkan hal-hal
yang tidak diinginkan terjadi.
Selain itu, secara
akademik, mahasiswa dengan latar belakang fatherless sering kali
menghadapi kesulitan dalam hal disiplin dan fokus belajar. Sosok ayah yang
ideal biasanya menjadi teladan tanggung jawab, kerja keras, dan keteguhan
prinsip. Tanpa panutan ini, mahasiswa berpotensi kehilangan arah, mudah
menyerah pada tekanan, dan lebih rentan terhadap stres akademik maupun sosial.
KRISIS IDENTITAS DAN
RELASI DENGAN OTORITAS
Ketiadaan figur ayah
juga berdampak pada cara mahasiswa memandang otoritas dan tanggung jawab.
Banyak di antara mereka yang sulit menerima bimbingan atau kritik karena tidak
pernah terbiasa dengan pola komunikasi yang sehat antara anak dan ayah. Di sisi
lain, sebagian justru mencari figur pengganti ayah di luar keluarga baik dalam
bentuk dosen, senior, atau bahkan kelompok pertemanan yang tidak selalu memberi
pengaruh positif.
Fenomena ini dapat
menjelaskan mengapa sebagian mahasiswa tampak mengalami krisis identitas, mudah
terombang-ambing oleh ideologi baru, dan sulit menemukan keseimbangan antara
kebebasan dan tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi dosen dan lembaga kampus untuk tidak hanya berperan
sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai lingkungan yang mendukung
pertumbuhan emosional dan karakter mahasiswa.
Peran Pendidikan dan
Lingkungan Sosial
Kampus dan lembaga
pendidikan memiliki peran strategis dalam membantu mahasiswa fatherless
menemukan kembali arah hidupnya. Dengan bimbingan konseling, program mentoring,
dan kegiatan pengembangan diri bisa menjadi wadah penyembuhan emosional.
Mahasiswa perlu diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi, belajar tentang
ketahanan mental, dan memahami pentingnya relasi sehat antara laki-laki dan
perempuan.
Selain itu, penting juga
bagi masyarakat untuk menghapus stigma terhadap keluarga tanpa ayah. Anak-anak
dan mahasiswa dari keluarga fatherless bukanlah “produk gagal”,
melainkan individu yang tengah berjuang membangun fondasi kehidupannya dalam
kondisi yang tidak ideal. Dukungan sosial, komunitas positif, dan komunikasi
terbuka dapat menjadi terapi sosial yang efektif untuk membentuk generasi muda
yang tangguh dan berdaya.
Selain itu, penting juga bagi masyarakat untuk menghapus stigma terhadap keluarga tanpa ayah. Anak-anak dan mahasiswa dari keluarga fatherless bukanlah “produk gagal”, melainkan individu yang tengah berjuang membangun fondasi kehidupannya dalam kondisi yang tidak ideal. Dukungan sosial, komunitas positif, dan komunikasi terbuka dapat menjadi terapi sosial yang efektif untuk membentuk generasi muda yang tangguh dan berdaya.
