
(sumber: dok.geotimes)
Fenomena fatherless makin mencuat beberapa waktu belakangan. Pada mulanya fatherless dipahami sebagai istilah dimana seorang anak mengalami kekurangan peran seorang ayah, baik karena meninggal dunia, perceraian atau status pekerjaan ayah yang mengharuskan jauh dari rumah seperti pelaut, tentara, dan TKI. Namun kata fatherless mengalami perluasan makna, yakni kurangnya keterlibatan atau peran seorang ayah meskipun ia ada di rumah.
Dalam jurnal Nusantarahasana, dilakukan penelitian oleh Aryanti yang mengungkapkan bahwa keterlibatan ayah bermanfaat jika dilakukan dengan cara yang menyenangkan, positif, hangat, dan membangun. Keterlibatan ayah dalam perkembangan anak juga memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang. Itu artinya, peran seorang ayah tidak hanya sebagai pencari nafkah tetapi juga menjadi sosok yang bisa menaungi dan mengayomi anggota keluarga. Ayah menjadi tulang punggung sekaligus tempat untuk sorang anak sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh perhatian.
Menurut data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Hal ini kemudian didukung oleh data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021, yang menyatakan bahwa dari jumlah anak usia dini di Indonesia yang mencapai 30,83 juta jiwa, 826.875 anak tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung, sementara 2.170.702 anak hanya tinggal bersama ibu kandung. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa sekitar 2.999.577 anak usia dini di Indonesia tidak tinggal bersama dengan ayahnya dan telah kehilangan sosok ayah.
Dari penelitian Universitas Gajah Mada, data menunjukkan, sekitar 15,9 juta anak Indonesia tumbuh tanpa peran ayah dalam hidupnya.Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak hidup tanpa ayah, sementara 11,5 juta anak lainnya memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu, sehingga secara emosional tidak hadir dalam keseharian mereka. Hal ini tentunya menyebabkan banyak permasalahan, karena seoang anak yang tumbuh tanpa peran seorang ayah akan menjadi pribadi yang labil, mental yang tidak sehat dan bias dalam tingkah laku. Kehadiran ayah secara fisik, tetapi tidak secara emosional menyebabkan ketidakseimbangan pola asuh. Anak dengan fatherless akan mencari refrensi lain diluar rumah yang belum tentu baik. Sebagian besar menyebabkan anak terjebak dalam pergaulan bebas, berhubungan tidak sehat bahkan keterpurukan emosional.
DAMPAK PSIKOLOGIS DAN SOSIAL
Bagi mahasiswa, masa kuliah adalah saat-saat pencarian jati diri, belajar mandiri dan penguatan nilai-nilai kehidupan. Kehadiran sosok ayah berperan penting untuk stabilitas emosional. Mahasiswa dengan fatherless menimbulkan banyak dampak psikologis seperti ketidakpercayaan diri, kesulitan mengambil keputusan dan muncul prilaku-prilaku impulsif.
Mahasiswa yang tumbuh dalam keluarga fatherless cenderung mengalami attachment insecurity, yakni ketakutan kehilangan kasih sayang dan kesulitan menjalin hubungan interpersonal yang sehat. Mereka mungkin tampak mandiri, tetapi di dalamnya terdapat kegelisahan eksistensial yang mendalam. Hal ini sering tampak dalam bentuk perilaku impulsif, pencarian jati diri ekstrem, atau bahkan penarikan diri dari lingkungan sosial kampus.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus ditemukan mahasiswa cenderung aktif diberbagai kegiatan, organisasi dan kepanitiaan. Hal ini dilakukan untuk mencari perhatian lebih atau atensi karena tidak didapatkan di rumah. Mahasiswa seperti ini akan melakukan banyak hal yang berlebihan dan terkesan menyiksa diri untuk mendapatkan perhatian yang diinginkan. Tak hanya berlaku dalam ranah yang positif, hal ini juga bisa fatal apabila mahasiswa mendapatkan lingkungan pertemanan yang buruk. Ia bisa terbawa arus pergaulan yang menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Selain itu, secara akademik, mahasiswa dengan latar belakang fatherless sering kali menghadapi kesulitan dalam hal disiplin dan fokus belajar. Sosok ayah yang ideal biasanya menjadi teladan tanggung jawab, kerja keras, dan keteguhan prinsip. Tanpa panutan ini, mahasiswa berpotensi kehilangan arah, mudah menyerah pada tekanan, dan lebih rentan terhadap stres akademik maupun sosial.
KRISIS IDENTITAS DAN RELASI DENGAN OTORITAS
Ketiadaan figur ayah juga berdampak pada cara mahasiswa memandang otoritas dan tanggung jawab. Banyak di antara mereka yang sulit menerima bimbingan atau kritik karena tidak pernah terbiasa dengan pola komunikasi yang sehat antara anak dan ayah. Di sisi lain, sebagian justru mencari figur pengganti ayah di luar keluarga baik dalam bentuk dosen, senior, atau bahkan kelompok pertemanan yang tidak selalu memberi pengaruh positif.
Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa sebagian mahasiswa tampak mengalami krisis identitas, mudah terombang-ambing oleh ideologi baru, dan sulit menemukan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dosen dan lembaga kampus untuk tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai lingkungan yang mendukung pertumbuhan emosional dan karakter mahasiswa.
PERAN PENDIDIKAN DAN LINGKUNGAN
Kampus dan lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membantu mahasiswa fatherless menemukan kembali arah hidupnya. Dengan bimbingan konseling, program mentoring, dan kegiatan pengembangan diri bisa menjadi wadah penyembuhan emosional. Mahasiswa perlu diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi, belajar tentang ketahanan mental, dan memahami pentingnya relasi sehat antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, penting juga bagi masyarakat untuk menghapus stigma terhadap keluarga tanpa ayah. Anak-anak dan mahasiswa dari keluarga fatherless bukanlah “produk gagal”, melainkan individu yang tengah berjuang membangun fondasi kehidupannya dalam kondisi yang tidak ideal. Dukungan sosial, komunitas positif, dan komunikasi terbuka dapat menjadi terapi sosial yang efektif untuk membentuk generasi muda yang tangguh dan berdaya.
Editor: Fitria Anggi
