Purwokerto – Gangguan pelafalan atau cadel, yang sering dianggap hal sepele, ternyata masih dialami sejumlah mahasiswa dan berdampak pada kepercayaan diri hingga kemampuan komunikasi akademik. Dalam konteks linguistik, cadel menjadi fenomena menarik karena berkaitan dengan kesiapan artikulator, kebiasaan fonologis, dan faktor perkembangan bahasa sejak kecil.
Fenomena cadel atau articulation disorder pada mahasiswa umumnya muncul saat melafalkan fonem tertentu, terutama bunyi /r/. Data American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) menunjukkan gangguan artikulasi dialami oleh sekitar 8–9% populasi. Sementara itu, penelitian linguistik di Indonesia (Universitas Negeri Malang, 2021) mencatat sekitar 12,4% mahasiswa pernah mengalami kesulitan artikulasi ringan, termasuk cadel.
Dalam perspektif linguistik, cadel dapat dipengaruhi oleh koordinasi otot bicara, kebiasaan fonologis yang terbentuk sejak kecil, atau gangguan produksi fonem tertentu. Masalah ini sebenarnya dapat diminimalisasi melalui latihan artikulasi, repetisi fonem, serta pembiasaan pola bicara yang benar.
Di lingkungan kampus, cadel bukan hanya persoalan fonologis, tetapi juga berdampa pada kepercayaan diri mahasiswa saat presentasi, diskusi, maupun wawancara. Namun sebagian mahasiswa mulai mengasah keterampilan berbicara melalui latihan mandiri seperti membaca keras, latihan rotasi lidah, serta mengikuti kelas public speaking.
Dalam wawancara pada Senin (17/11), Satrio, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, membagikan pengalamannya menghadapi cadel. “Gangguan cadel cukup mengganggu aktivitas kuliah saya, karena sering membuat orang salah paham. Misalnya saat saya mengucapkan ‘kontrol’, orang lain sering mendengar ‘tongkol’,” ujarnya.
Fenomena cadel pada mahasiswa bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari keberagaman fonologis yang dapat diperbaiki dengan latihan dan dukungan lingkungan. Dengan pemahaman linguistik yang tepat, mahasiswa dapat lebih percaya diri dalam berkomunikasi, sementara lingkungan kampus diharapkan menjaga etika komunikasi agar tidak menimbulkan stigma.
Editor: Kuat Aldiyanto
