Purwokerto — Fenomena penggunaan code-mixing atau pencampuran bahasa serta slang atau bahasa gaul kini semakin populer di kalangan Generasi Z. Di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter), gaya berbahasa ini menjadi bagian dari identitas anak muda dalam berkomunikasi di dunia maya.
Gen Z kerap mencampur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan. Ungkapan seperti “Biar gak ketinggalan promo, stay tune di IG kami ya!” atau “Kemarin gue beli laptop, which is bagus banget buat desain” sering muncul di unggahan dan kolom komentar media sosial.
Fenomena ini disebut code-mixing, yakni pencampuran satu bahasa dengan bahasa lain oleh pembicara dalam komunikasi. Selain itu, anak muda juga gemar menggunakan slang khas internet seperti bestie, gaskeun, healing, random, dan vibes yang kini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.
Mayoritas pengguna gaya bahasa campuran ini adalah Gen Z, yaitu kelompok usia yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Mereka tumbuh di era digital yang dipenuhi konten berbahasa Inggris dan terbiasa berinteraksi melalui teknologi.
Tren ini meningkat dalam lima tahun terakhir seiring naiknya penggunaan media sosial di kalangan remaja dan mahasiswa. Bahasa campuran tidak hanya muncul di dunia maya, tetapi juga di lingkungan kampus, sekolah, hingga tempat kerja. Bahkan dalam beberapa tugas kuliah atau presentasi, penggunaan istilah berbahasa Inggris dianggap wajar selama sesuai konteks.
Beberapa faktor mendorong Gen Z menggunakan bahasa campuran, di antaranya:
1. Pengaruh globalisasi dan media sosial. Paparan konten berbahasa Inggris membuat anak muda terbiasa mencampur bahasa.
2. Ekspresi identitas dan penanda kelompok. Gaya bahasa menjadi simbol keakraban dan kebersamaan dalam komunitas digital.
3. Lingkungan sosial dan akademik. Dunia pendidikan dan pekerjaan kini menuntut kemampuan bilingual, sehingga code-mixing dianggap sebagai bentuk adaptasi.
Penggunaan code-mixing memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, gaya ini menunjukkan kreativitas, kemampuan bilingual, dan kemudahan beradaptasi dalam komunikasi lintas budaya. Namun, jika digunakan tanpa kontrol, kebiasaan ini dapat menurunkan kemampuan berbahasa formal, terutama dalam tulisan akademik dan komunikasi resmi.
Fenomena code-mixing dan slang di kalangan Gen Z mencerminkan kreativitas sekaligus tantangan di era digital. Penggunaannya perlu disesuaikan dengan konteks agar tidak mengurangi peran bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Editor: Alifia Rizki Ramadhan
