Fenomena Kata “Sigma” Menjadi Simbol Keren di Dunia Maya

Purwokerto — Istilah “Sigma” kini menjadi salah satu kosakata paling populer di media sosial. Kata ini kerap digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mandiri, keren, dan tidak bergantung pada pengakuan sosial. Kata yang semula berasal dari huruf Yunani tersebut kini mengalami pergeseran makna dan menjadi bagian dari dinamika bahasa digital di era modern.

Fenomena ini mulai mencuat sejak tahun 2023 dan bertahan hingga 2025. Istilah “Sigma” awalnya dikenal melalui video dan meme di TikTok yang menampilkan karakter lone wolf, yaitu sosok yang percaya diri, independen, dan tidak mengikuti arus sosial. Tren ini kemudian menyebar ke platform lain seperti YouTube Shorts dan X (Twitter), hingga menjadi simbol kepribadian ideal di kalangan Gen Z dan Gen Alpha.

Di platform X, banyak pengguna memberikan tafsir berbeda mengenai istilah tersebut. Akun @nanamirdude menulis, “Sigma itu personality, bisa dibilang kayak lone wolf, karismatik dan charming.” Sementara akun @lackskrrt menambahkan, “Sigma tuh artinya cool banget gitu, guys.” Akun lain, @slumpzzzz, berkomentar, “Sigma itu ya orang yang hidupnya tenang tapi berkelas.”

Fenomena ini menunjukkan bagaimana linguistik digital berperan penting dalam membentuk makna baru di dunia maya. Dalam kajian linguistik, pergeseran makna seperti ini disebut semantic shift, yakni perubahan makna yang terjadi karena adaptasi sosial dan budaya digital. Kata “Sigma” yang dulunya hanya simbol alfabet, kini menjadi istilah dengan makna sosial, gaya hidup, bahkan identitas bagi generasi muda.

Melalui arus digitalisasi, bahasa tidak lagi berkembang hanya melalui media cetak atau percakapan langsung, melainkan juga lewat algoritma dan tren daring. Platform seperti TikTok dan X menjadi ruang produktif bagi penciptaan kosakata baru. Istilah “Sigma” menjadi contoh konkret bagaimana teknologi mendorong lahirnya ekspresi linguistik yang segar, cepat menyebar, dan diterima luas oleh masyarakat.

Bagi sebagian pengguna, “Sigma” dimaknai sebagai simbol kemandirian dan kepercayaan diri. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai cerminan sifat tertutup dan individualistis. Perbedaan tafsir ini menunjukkan bahwa bahasa di ruang digital bersifat cair dan terus berubah, bergantung pada konteks sosial dan komunitas yang menggunakannya.‎‎

Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa digitalisasi bukan hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tetapi juga cara bahasa berevolusi. Melalui media sosial, kata-kata tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan menjadi representasi budaya dan identitas sosial. “Sigma” pun bukan lagi sekadar huruf Yunani, melainkan simbol generasi digital yang memaknai bahasa sebagai bentuk ekspresi diri di dunia maya.‎

Editor : Azmi Revania Amanda

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *