Purwokerto, — Kebiasaan membagikan aktivitas sehari-hari melalui story 24 jam di media sosial kini menjadi fenomena yang dominan di kalangan Generasi Z. Hampir setiap momen, mulai dari makan siang, aktivitas kampus, hingga curahan emosi diunggah dan dibagikan secara publik. Pertanyaannya, mengapa Gen Z merasa harus selalu terlihat aktif?
Fenomena ini meningkat sejak 2020, ketika pandemi membuat interaksi tatap muka berkurang dan komunikasi digital menjadi pilihan utama. Sejak itu, fitur story di berbagai platform seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, dan semacamnya digunakan sebagai ruang untuk menunjukkan keberadaan diri di dunia maya.
Menurut laporan tren penggunaan internet global, Gen Z tercatat sebagai kelompok yang menghabiskan waktu paling lama di media sosial, yakni sekitar 1 hingga 5 jam per hari. Intensitas itu memengaruhi pola interaksi mereka, termasuk dorongan untuk terus memperbarui unggahan.
Menurut teori presentasi diri yang dikemukakan sosiolog Erving Goffman, individu cenderung menampilkan citra tertentu di ruang publik untuk mendapatkan pengakuan sosial. Pola ini tampak dalam perilaku Gen Z yang merasa perlu selalu memperbarui unggahan story sebagai bentuk kehadiran di dunia maya. Di platform yang serba cepat, kehadiran digital dianggap sebagai bagian dari identitas. Story menjadi tempat untuk menunjukkan aktivitas, gaya hidup, hingga suasana hati. “Bagi saya, tidak update berarti tidak terlihat,” ujar salah satu Gen Z yang aktif di media sosial.
Selain itu, kecenderungan FOMO (fear of missing out) juga turut memperkuat tekanan sosial tersebut. Ketika teman sebaya rutin membuat story, banyak pengguna merasa perlu melakukan hal serupa agar tetap dianggap relevan dalam lingkungan sosialnya. Story juga dinilai memberi validasi instan, melalui viewers, reaction emoji, hingga pesan dari teman. Fitur yang bersifat sementara turut memengaruhi perilaku ini. Banyak pengguna menganggap bahwa konten yang hilang setelah 24 jam lebih aman untuk dibagikan, walaupun jejak digital tetap bisa direkam atau disimpan.
Fenomena oversharing ini membawa dampak beragam. Di satu sisi, Gen Z merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan terhubung dengan lingkaran sosial. Namun di sisi lain, kebiasaan ini berpotensi menimbulkan tekanan psikologis untuk terus tampil online, sekaligus risiko kebocoran privasi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai batas privasi dan konsekuensi jangka panjang dinilai perlu diperkuat agar kebiasaan ini tidak berujung pada dampak negatif.
