
Purwokerto – Di sebuah rumah sederhana di tepi irigasi Sokaraja, Banyumas, suara tetesan malam panas dan gesekan canting telah menjadi musik yang akrab sejak puluhan tahun lalu. Di sanalah Heru Santoso, pria kelahiran 13 Juni 1967, menapaki jalan panjangnya sebagai pembatik sejati. Ia tumbuh di tengah kain putih yang perlahan berubah menjadi lembaran penuh motif, menyerap aroma malam, dan menyaksikan tangan-tangan telaten menyulam cerita pada kain. Lingkungan masa kecil yang sarat tradisi ini menumbuhkan kecintaan sekaligus keterampilan yang kelak menjadi jati dirinya. Dari rumah kecil itu, ia belajar bahwa batik bukan sekadar pakaian, tetapi jejak sejarah dan jiwa yang dituangkan pada setiap helai kain.
Langkah Ragu yang Berbuah Percaya Diri
Keseriusan Heru dalam membatik bermula pada awal tahun 2000 ketika ia tak lagi hanya menyaksikan orang tua bekerja, melainkan mencoba membuat batik cap sendiri. Ia memulai dari proses mencetak, menorehkan malam, hingga memberi warna. Setiap goresan menjadi pengalaman baru yang penuh tantangan sekaligus kegembiraan, seakan membuka pintu dunia yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan.
Pengalaman penting hadir pada 2005 saat ia dipercaya mewakili Banyumas dalam pameran Inacraft di Jakarta, ajang bergengsi yang mempertemukan karya terbaik dari berbagai daerah. Awalnya Heru diliputi keraguan saat melihat batik dari daerah lain yang tampil megah dan modern. Namun, karyanya justru mendapat sambutan hangat. Hampir delapan puluh persen batik yang ia bawa terjual habis. Momen itu membalik keraguan menjadi keyakinan: batik Banyumas punya daya tarik yang tak kalah kuat jika dikerjakan dengan sepenuh hati.
Merajut Motif, Menguasai Setiap Tahap
Sebagai pembatik, Heru menguasai proses pembuatan batik dari hulu ke hilir. Pada batik tulis, ia dikenal ahli dalam pewarnaan dan penempatan isen-isen, detail kecil yang menentukan karakter dan keindahan kain. Ia memahami bagaimana merancang pola, melapisi malam, mewarnai berlapis, hingga tahap melorod, pekerjaan yang menuntut ketelitian dan kesabaran tingkat tinggi.
Pada batik cap, ia menguasai semua langkah kerja mulai dari memilih canting cap, teknik menyanting yang rapi, menutup warna, mewarnai ulang, hingga proses finishing. Baginya, seorang pembatik mungkin tidak harus mengerjakan setiap tahap sendiri, tetapi wajib memahami seluruh proses agar setiap karya punya kualitas dan harga diri. “Jika tidak paham prosesnya, kain batik bisa kehilangan ruhnya,” ujarnya. Baginya, penguasaan penuh atas proses adalah bentuk hormat kepada tradisi yang diwariskan.
Filosofi Kesabaran dalam Sehelai Kain
Heru memandang batik sebagai latihan kesabaran dan pengendalian emosi. Ia menekankan bahwa motif batik tidak boleh lahir dari asal menggambar, melainkan harus memiliki nilai dan cerita. Sebelum menorehkan malam pada kain, ia selalu bertanya pada dirinya sendiri tentang makna dan sejarah motif yang akan dibuat. Sikap itu menjadikannya tidak hanya seorang pengrajin, tetapi juga perancang yang menjaga nilai filosofis dalam setiap karya.
Bagi Heru, setiap helai batik menyimpan napas penciptanya. Ada doa yang diam-diam diselipkan, ada kesungguhan dalam setiap tarikan garis. Itulah yang membuat batik tulis dan batik cap memiliki kehangatan yang tak dapat digantikan oleh mesin. Baginya, setiap kain yang selesai bukan sekadar hasil kerja tangan, tetapi juga cermin dari kesabaran dan jiwa yang tenang.
Pengakuan Mutu yang Menguatkan Langkah
Keahliannya diakui melalui berbagai pencapaian. Salah satu yang paling berkesan adalah keberhasilannya memperoleh sertifikat SNI (Standar Nasional Indonesia) dari Balai Besar Batik Yogyakarta. Sertifikat ini menjadi bukti bahwa karyanya telah memenuhi standar mutu resmi pemerintah, mencakup bahan, proses pewarnaan, daya tahan, dan keamanan bagi pengguna.
“Dari sepuluh pengrajin yang mendaftar, hanya tiga yang lolos. Salah satunya kami. Itu membuat saya percaya diri bahwa batik kami sudah memenuhi standar,” ungkap Heru bangga. Baginya, pengakuan tersebut bukan puncak pencapaian, melainkan pengingat bahwa batik tradisional mampu bersaing dalam standar mutu tinggi tanpa kehilangan identitas dan nilai budayanya. Ia percaya bahwa kualitas yang diakui secara resmi akan membuat generasi muda semakin yakin untuk meneruskan tradisi ini.
Mewariskan Cinta Batik pada Generasi Muda
Selain berkarya, Heru memiliki kepedulian besar terhadap regenerasi pembatik. Sejak 2007 ia mengajar di SMA Negeri 1 Sokaraja, satu-satunya sekolah di Banyumas yang memiliki mata pelajaran batik. Metode pengajarannya sederhana tetapi efektif: setiap siswa wajib membuat batik yang kelak dijadikan seragam sekolah mereka sendiri. Dengan cara ini, siswa diajak memahami proses sekaligus merasa bangga pada hasil karyanya.
Ia juga melatih siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) di Purwokerto hingga Cilacap agar pengetahuan batik dapat dirasakan oleh semua kalangan. Baginya, membatik adalah ruang inklusif; siapa pun, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau kognitif, bisa menemukan kebanggaan di sana. Heru percaya, bila sejak muda anak-anak diajarkan mengenal batik, mereka akan tumbuh dengan rasa cinta terhadap warisan budaya yang luhur.
Melawan Arus Instan, Merawat Warisan
Heru menyadari bahwa tantangan besar bagi batik tradisional kini kian berat karena dunia telah memasuki era digitalisasi dan mesinisasi. Perkembangan teknologi membuat proses produksi tekstil semakin cepat dan efisien, sehingga memunculkan banyak kain bermotif batik yang sebenarnya bukan batik tulis maupun batik cap. Produk-produk semacam ini sering disebut sablon atau batik printing.
Secara tampilan, kain printing bahkan bisa terlihat lebih halus dan rapi karena prosesnya banyak dibantu mesin atau menggunakan plangkan. Walau sebagian tahap pengerjaannya masih manual, hasil akhir kain printing sering tampak sangat rapi dan konsisten, hampir menyerupai karya batik tradisional. Inilah yang membuat masyarakat awam kerap terkecoh.
Namun, menurut Heru, kain semacam itu tidak bisa disebut batik karena proses pembuatannya tidak menggunakan malam sebagai bahan perintang warna, elemen penting yang membedakan batik sejati dari sekadar kain bermotif. “Batik sejati lahir dari proses yang jujur, ada malam sebagai perintang warna dan ada cerita di balik setiap goresan,” ujarnya menegaskan. Fenomena ini menjadi tantangan paling berat bagi para pelaku industri kecil menengah (IKM) yang berjuang menjaga keberlangsungan batik di tengah gempuran produksi massal yang serba cepat.
Menjaga Tradisi, Meneguhkan Jati Diri
Bagi Heru, membatik bukan sekadar cara mencari nafkah, melainkan warisan yang ia jaga seumur hidup. Ia percaya keberlangsungan batik hanya akan terjamin jika masyarakat bangga mengenakannya dan generasi muda memahami proses di balik setiap goresan malam. Ia ingin dunia tahu bahwa batik bukan sekadar kain bercorak indah, tetapi karya yang lahir dari kesabaran, ketekunan, dan kejujuran proses.
“Sejak bayi saya sudah mencium bau malam. Ini bukan sekadar profesi, tetapi bagian dari hidup saya. Selama saya mampu, batik akan tetap saya jaga,” ucapnya penuh keyakinan. Dengan tekad itu, Heru berharap tradisi membatik tidak sekadar bertahan, tetapi terus hidup, berkembang, dan memberi kebanggaan bagi bangsa. Setiap helai kain yang ia hasilkan adalah pengingat bahwa menjaga budaya berarti menjaga jati diri, sebuah warisan yang layak diteruskan pada generasi berikutnya.
Editor: Azzahra Maulida Affandy