Kesehatan Mental Kian Kompleks: Psikolog Soroti Maraknya Judi Online, Pinjaman Online, dan Keterbatasan Tenaga Ahli di Purbalingga

Teguh Susilo, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Psikolog Klinis (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Purbalingga – Masalah kesehatan mental di tengah masyarakat kini semakin kompleks, ditandai dengan munculnya fenomena sosial baru yang memicu gangguan psikologis serius dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Hal tersebut disampaikan oleh Teguh Susilo, S.Psi., M.Psi., Psikolog, seorang psikolog klinis yang berpraktik di Perumahan Permata Reagency dan Rumah Sakit Umum (RSU) Harapan Ibu Purbalingga.

Sejak mulai praktik pada tahun 2021, Teguh telah menangani beragam persoalan psikologis yang dialami masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari gangguan kecemasan, stres berat, depresi, hingga percobaan bunuh diri. Menurutnya, selama hampir empat tahun mendampingi pasien, ia melihat adanya perubahan signifikan pada jenis dan pola gangguan yang dialami masyarakat, terutama akibat perkembangan teknologi dan tekanan sosial yang semakin tinggi.

Teguh mengungkapkan bahwa salah satu fenomena yang muncul belakangan ini adalah meningkatnya kasus pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol). Menurutnya, dua hal tersebut sering menjadi pintu masuk menuju berbagai masalah psikologis dan sosial. “Banyak kasus berawal dari pinjaman online, kemudian berkembang menjadi kecanduan judi online. Akibatnya menjadi sangat fatal, mulai dari perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga percobaan bunuh diri,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar pelaku maupun korban mengalami tekanan finansial, rasa bersalah, dan penurunan harga diri yang berdampak langsung pada kestabilan mental. Dalam banyak kasus, individu yang terjerat pinjol juga mengalami keterasingan sosial karena rasa malu dan ketakutan menghadapi stigma masyarakat. Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dapat memicu gangguan psikologis serius bila tidak ditangani sejak dini.

Selain persoalan ekonomi, Teguh menyoroti meningkatnya gangguan suasana hati, emosi, dan kecemasan pada berbagai kelompok usia, termasuk pada rentang usia anak dan remaja. Masalah psikologis remaja saat ini telah melampaui isu perundungan dan tekanan akademik, yang mana kini juga mencakup persoalan kompleks seperti orientasi seksual lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) serta penyalahgunaan obat terlarang. 

Beberapa kasus gangguan psikologis pada anak dan remaja sering kali terlihat sederhana, misalnya anak yang mengalami perundungan di sekolah. Namun setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata di balik perilaku atau kesedihan anak tersebut terdapat masalah lain yang lebih kompleks, seperti konflik dalam keluarga atau trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Hal inilah yang sering menjadi akar dari gangguan emosi dan perilaku pada anak.

Ia juga menemukan adanya remaja di beberapa sekolah yang mulai mencoba obat penenang tanpa pengawasan dokter. Fenomena ini, menandakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental masih rendah, terutama di wilayah pedesaan. Ia menilai perlunya edukasi berkelanjutan agar masyarakat memahami gejala awal gangguan mental dan segera mencari bantuan profesional.

Fenomena cyber bullying atau perundungan digital juga menjadi perhatian serius dan kasus ini sering berdampak berat pada psikologis anak. “Banyak anak korban perundungan di media sosial merasa malu, takut, bahkan enggan ke sekolah. Ada pula yang mengalami depresi hingga harus dirujuk untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya. Dalam praktiknya, Teguh menangani kasus semacam ini dengan pendekatan psikoterapi, sedangkan untuk kasus depresi berat atau skizofrenia diperlukan kolaborasi dengan psikiater melalui farmakoterapi.

Gangguan mental dapat dialami siapa saja, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Salah satu tanda awal yang harus diwaspadai adalah perubahan perilaku drastis. Ia menambahkan, gangguan mental sering bermula dari stres yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu distres (negatif) dan eustres (positif).

Ia menekankan pentingnya deteksi dini dan dukungan lingkungan dalam mencegah gangguan mental semakin parah. “Lingkungan yang sehat dan suportif berperan besar dalam pemulihan seseorang,” tegasnya.

Selain itu, ia memperkenalkan konsep peer counseling atau konseling sebaya, yaitu bentuk dukungan psikologis dari teman sebaya yang siap mendengarkan tanpa menghakimi. Cara sederhana ini dapat membantu individu meringankan beban emosional. “Kadang seseorang tidak butuh solusi, cukup didengarkan saja. Itu sudah bisa membantu,” ujarnya.

Meski demikian, Teguh mengakui masih banyak masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap profesi psikolog. Banyak yang beranggapan bahwa datang ke psikolog berarti mengalami gangguan jiwa berat. “Padahal, setiap orang bisa datang ke psikolog, bahkan dalam kondisi sehat sekalipun. Tujuannya untuk memahami diri dan belajar mengelola emosi,” jelasnya.

Selain itu, Teguh menyoroti keterbatasan jumlah psikolog klinis di daerah. Menurutnya, sebagian besar tenaga psikologi masih terpusat di wilayah Jawa, sementara di daerah lain jumlahnya sangat minim. “Di Purbalingga sendiri, psikolog klinis berizin resmi dari Kementerian Kesehatan belum mencapai lima orang,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa profesi psikolog memerlukan kompetensi profesional dan izin praktik resmi, seperti Surat Izin Praktik (SIP) dan sertifikasi dari Ikatan Psikolog Klinis (IPK). Proses tersebut mencakup pendidikan, pelatihan, dan uji kompetensi yang panjang agar layanan psikologi benar-benar aman dan etis.

“Kami ingin masyarakat memahami arti waras secara utuh, yaitu kemampuan seseorang mengekspresikan diri secara sehat, menjalankan aktivitas dengan baik, serta tetap patuh pada norma sosial,” jelasnya. Menurut Teguh, upaya peningkatan kesadaran ini penting agar masyarakat tidak lagi menganggap kesehatan mental sebagai hal tabu.

Masalah kesehatan mental yang semakin kompleks menuntut kolaborasi nyata dari berbagai pihak. Edukasi yang berkelanjutan, dukungan sosial yang kuat, serta pemerataan tenaga profesional menjadi langkah penting untuk mewujudkan masyarakat yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga tangguh secara mental dan emosional.

Editor: Luthfiyah Hanif Khairunnisa

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *