Menyalakan Lentera Literasi: Perjuangan Guru Bahasa Indonesia di Tengah Padamnya Minat Baca

Purwokerto — Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah kini menghadapi tantangan baru di tengah derasnya perkembangan era digital. Rendahnya minat baca siswa menjadi salah satu kendala utama yang dirasakan oleh Ratnawati, guru Bahasa Indonesia di MAN 1 Kota Tangerang, yang telah mengabdikan diri di dunia pendidikan sejak tahun 1992.

Menurutnya, kebanyakan siswa merasa bahasa Indonesia mudah karena digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, kesadaran untuk mempelajari struktur dan kaidah bahasa yang benar menjadi rendah. “Kadang siswa merasa sudah bisa, padahal kemampuan berbahasa yang baik dan benar membutuhkan latihan dan pemahaman yang mendalam,” jelasnya.

Sebagai langkah membangun budaya literasi, sekolah juga memiliki program 15 Liter Bening (15 Menit Literasi Baca Hening) yang dijalankan melalui organisasi Permata Squad. Program ini membiasakan siswa membaca sebelum kegiatan belajar dimulai. “Walaupun belum sepenuhnya mampu menumbuhkan kebiasaan membaca yang kuat, setidaknya program ini membuat siswa lebih dekat dengan buku dan teks,” ungkap Ratnawati.

Selain kegiatan literasi di kelas, Ratnawati menilai bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia juga semakin hidup lewat kegiatan The COEL (The Competition of Three Language), lomba kebahasaan yang rutin digelar di MAN 1 Kota Tangerang setiap bulan bahasa. Lomba ini mencakup tujuh cabang, di antaranya Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI), LCCI, Khitobah, Poster Digital, Ilustrasi Puisi, Bercerita Tiga Bahasa, dan News Anchor.

(Sumber: Panitia Pelaksana)

“Dalam LDBI, siswa dituntut membaca berbagai sumber berita dan referensi agar dapat berargumen secara logis. Dari situ, mereka belajar berpikir kritis dan berbahasa yang baik,” jelasnya. Kelas yang dibimbing Ratnawati bahkan berhasil meraih juara tiga LDBI, yang menjadi bukti bahwa semangat belajar bahasa masih tumbuh di kalangan siswa.

(Sumber: Panitia Pelaksana)

Salah satu siswi peserta lomba, Aliyya, mengungkapkan bahwa ajang tersebut membuatnya semakin menghargai pembelajaran Bahasa Indonesia. “Melalui debat, saya belajar menyusun argumen dengan bahasa yang baik dan lebih percaya diri berbicara di depan orang lain,” ujarnya.

Data dari UNESCO, masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar memiliki kebiasaan membaca. Fakta ini memperkuat pandangan Ratnawati bahwa kebiasaan literasi harus dibangun sejak dini, terutama di lingkungan sekolah.

Ratnawati juga menekankan pentingnya etika dalam berbahasa di era digital. Menurutnya, siswa perlu memahami konteks penggunaan bahasa yang baik, terutama di media sosial. “Bahasa adalah cerminan diri. Kalau kita membiasakan diri berbahasa dengan baik, itu berarti kita sedang membangun karakter yang baik pula,” tuturnya.

Sebagai penutup, ia berharap pembelajaran Bahasa Indonesia dapat kembali mendapat tempat di hati siswa. “Bahasa Indonesia bukan sekadar mata pelajaran, tapi jati diri bangsa. Kalau mereka bisa mencintai bahasanya, berarti mereka sedang mencintai bangsanya sendiri,” pungkasnya.

Editor: Ainun Nasywa Sakhi

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *