Foto: (Dokumentasi: Foto Pribadi)
Purwokerto-Hari kedua rangkaian Jagat Rasa 2025 yang digelar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Jenderal Soedirman kembali menghadirkan pementasan teater yang menyentuh denyut sosial masyarakat. Pada Kamis, 11 Desember 2025, naskah legendaris W.S. Rendra “Orang-Orang di Tikungan Jalan” dihidupkan kembali di Aula Bambang Lelono, memunculkan berbagai karakter yang sehari-hari sering dilupakan, tetapi sesungguhnya hadir sangat dekat dengan kehidupan kota.
Sejak lampu panggung mulai meredup, penonton langsung diseret pada suasana tikungan jalan. Sebuah ruang yang menjadi persinggahan, perselisihan, dan percakapan orang-orang yang terombang-ambing oleh keadaan. Para aktor memasuki panggung bergantian. Djoko, pemuda yang berusaha mempertahankan akal sehat. Botak, lelaki yang bertopi lucu namun menyimpan humor getir tentang hidup. Sri, perempuan yang dijuluki jalang namun sesungguhnya membawa luka panjang. Surya, pemabuk yang menghabiskan hidupnya dengan melarikan diri. Hingga Narko, pemuda gila yang menjadi simbol batas kewarasan masyarakat.
Tokoh Surati, gadis lugu yang masih percaya pada masa depan. Tarjo, lelaki separuh baya yang menyaksikan perubahan zaman dengan pahit, menambah lapisan kompleks pada cerita. Para pelaku pelengkap,penjual wedang kacang, Seno si pemuda pandu, si Buta, dan beberapa pelalu menjadikan panggung hidup seperti sebuah jalanan kota yang sesungguhnya.
Di adegan pembuka, percakapan Djoko dan Botak tentang hidup yang “tak pernah memberikan petunjuk arah” membuat aula mendadak hening. Kelakar Botak yang tampak lucu di awal perlahan bergeser menjadi kritik sosial yang tajam, seolah membacakan ironi hidup dari sudut sempit perkotaan. Ketika Sri muncul dengan sikap keras dan tatapan tajam konflik mulai terasa menyenggol hati penonton. Ada kelelahan, amarah, tetapi juga kerinduan untuk dimengerti yang muncul dalam setiap dialognya.
Salah satu penonton, Nazwa, mengungkapkan betapa kuatnya adegan Sri dan Surya. “Yang bikin merinding itu bukan cuma dialognya, tapi cara mereka nunjukin bahwa orang dewasa kadang nggak punya tempat buat pulang. Rasanya kayak ngeliat kehidupan nyata, tapi dalam versi yang lebih jujur,” katanya.
Pemeran Djoko juga membagikan pengalamannya membawakan tokoh tersebut. Ia menuturkan bahwa Djoko adalah pemuda yang terus berusaha terlihat kuat meski pikirannya hancur pelan-pelan oleh keadaan. “Aku harus belajar bicara sambil menahan emosi tetapi tetap menunjukkan bahwa batinnya berantakan. Itu tantangan terbesarku,” ujarnya.
Pementasan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan naskah dan dialog, tetapi juga detail panggung. Lampu redup, bayangan panjang, serta properti sederhana sebuah padagang wedang kacang, kursi bekas wadah buah, semuanya dirancang agar penonton merasakan kerasnya dunia yang ingin digambarkan Rendra. Suara para pelalu yang bertengkar, teriakan orang-orang yang tidak saling mengenal, hingga lantunan pedagang wedang kacang menambah realisme yang membuat pertunjukan terasa seperti potongan kehidupan nyata.
Menurut koordinator artistik, pemilihan atmosfer gelap bukan tanpa alasan. “Rendra menulis tentang manusia-manusia yang tersisih. Cahaya yang terlalu terang justru menghilangkan kedalaman emosinya. Tikungan jalan itu harus tampak lembab, sepi, dingin, dan sedikit berbahaya,” jelasnya.

Foto (Dokumentasi: Foto Pribadi)
Pertunjukan ditutup dengan kehadiran seluruh tokoh di panggung, berdiri dengan acak, masing-masing menatap penonton tanpa sepatah kata. Keheningan panjang itu justru menjadi pukulan terbesar. Dalam diam, mereka seolah berkata bahwa cerita mereka bukan sekadar drama, melainkan gambaran hidup banyak orang yang sering terlewatkan.
Penonton memberikan tepuk tangan meriah yang berlangsung cukup lama. Beberapa mahasiswa mengaku bahwa pementasan ini membuka mata mereka bahwa jalanan yang setiap hari mereka lewati mungkin saja menyimpan ratusan kisah serupa—tentang kehilangan, perlawanan, dan hasrat bertahan hidup.
Dengan pementasan yang emosional, intens, dan penuh jiwa ini, “Orang-Orang di Tikungan Jalan” menjadi salah satu penampilan paling berkesan dalam rangkaian Jagat Rasa 2025. Tidak hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai pengingat bahwa di balik keramaian kota selalu ada manusia-manusia yang berjuang dalam sunyi.
Editor: Apriliia Putri Ardiani
