Literasi di Persimpangan: Buku Makin Mahal, Ruang Baca Makin Sempit

Purwokerto — Kenaikan harga buku dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya menimbulkan keresahan di kalangan penerbit dan penulis, tetapi juga berdampak langsung pada minat baca masyarakat. Dengan harga terbitan baru yang kini berkisar Rp100.000 hingga Rp150.000 per buku, banyak pembaca harus berpikir ulang sebelum membeli karya tersebut. Belum lagi jika buku tersebut termasuk ke dalam karya populer, harganya dapat menjadi lebih mahal dua hingga tiga kali lipat dari harga standar.

Sejumlah tinjauan industri percetakan dan ringkasan laporan pasar menunjukkan bahwa kenaikan harga kertas dan biaya distribusi berkontribusi besar terhadap melonjaknya harga buku. Dalam dua tahun terakhir, beberapa sumber menyebutkan harga kertas impor naik lebih dari 25%. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, data tersebut mencerminkan tekanan serius bagi penerbit, terutama yang berskala kecil untuk tetap bertahan di tengah situasi tidak stabil ini.

Masalahnya, kenaikan harga buku berbanding terbalik dengan tingkat minat baca masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah. Banyak komunitas literasi yang melaporkan bahwa jumlah pengunjung ruang baca menurun. Bagi masyarakat yang pendapatannya terbatas, buku mulai dianggap sebagai kebutuhan tersier di mana buku menjadi kebutuhan yang sulit dipenuhi sekalipun membaca sudah menjadi bagian dari hobi.

Situasi ini memunculkan fenomena baru, meningkatnya konsumsi bacaan digital yang menawarkan harga lebih murah, bahkan beberapa bersifat gratis. Meski platform daring menjadi alternatif, tidak semua genre akan tersedia dalam versi digital. Selain itu, pengalaman membaca buku fisik yang memberi kedalaman dan kedekatan emosional tidak sepenuhnya bisa digantikan oleh layar elektronik.

Pengamat literasi menilai bahwa, jika kenaikan harga buku dibiarkan tanpa solusi, minat baca masyarakat akan terus menurun. Literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga tentang akses terhadap pengetahuan yang berkualitas. Karena itu, sejumlah pihak berharap pemerintah dan pemangku kepentingan industri dapat mempertimbangkan kebijakan yang mendukung keterjangkauan buku. Untuk menjaga agar budaya baca tidak semakin luntur, buku harus tetap berada dalam jangkauan masyarakat. Sebab, tanpa akses yang mudah dan terjangkau, ruang baca akan semakin sempit, dan masa depan literasi semakin kabur.

Editor: Dhia Salsabila Febriyana

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *