Kemampuan membaca kritis merupakan fondasi penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui kemampuan ini, siswa belajar menilai informasi, memahami gagasan, dan menyimpulkan pesan secara mandiri. Namun perkembangan teknologi membuat kebiasaan membaca berubah dengan sangat cepat. Banyak siswa lebih akrab dengan video singkat dan konten cepat habis daripada teks panjang yang memerlukan fokus dan ketelitian.
Perubahan ini terlihat jelas dalam kelas bahasa Indonesia. Ketika guru memberi tugas membaca kritis teks artikel, sebagian siswa tampak kesulitan menuntaskan bacaan. Seorang siswa kelas delapan dari salah satu SMP di Cilacap mengaku tidak mampu bertahan lama ketika membaca teks panjang. Ia berkata, “Saya sering berhenti di tengah karena merasa terlalu panjang. Mata saya cepat lelah dan saya jadi ingin langsung ke bagian akhirnya saja.” Ia menambahkan bahwa kebiasaannya mengonsumsi video pendek membuatnya tidak sabar menghadapi teks yang membutuhkan perhatian penuh.
Temannya satu kelas memiliki pengalaman serupa. Ia mengatakan bahwa membaca terasa lebih berat dibandingkan menonton bahan ajar. Ia menyampaikan, “Kadang saya hanya baca satu paragraf lalu minta teman menjelaskan isi keseluruhannya. Rasanya lebih cepat dan tidak membuat lelah.” Kebiasaan seperti ini menunjukkan bahwa proses membaca kritis sering terhenti sebelum benar-benar dimulai. Siswa melewati bagian penting dalam teks dan kehilangan kesempatan untuk memahami struktur gagasan yang disusun penulis.
Kondisi tersebut sejalan dengan temuan berbagai studi literasi yang menunjukkan penurunan minat baca mendalam pada pelajar. Mereka cenderung lebih menyukai informasi singkat yang mudah dicerna. Akibatnya, kemampuan untuk menganalisis teks, menilai informasi, dan memahami konteks menjadi kurang terlatih. Pembelajaran bahasa Indonesia pun sering terjebak pada kegiatan membaca cepat tanpa pemahaman utuh.
Padahal membaca kritis sangat penting untuk membentuk pola pikir analitis. Siswa perlu belajar memetakan ide utama, menemukan detail pendukung, dan memahami alasan yang membentuk suatu pendapat. Ketika proses ini dilewati, siswa hanya menerima informasi tanpa kemampuan menilai. Di tengah banjir informasi, kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan.
Guru sebenarnya dapat membantu mengembalikan minat membaca kritis siswa dengan beberapa cara. Teks panjang dapat dibagi menjadi tahapan membaca agar tidak terasa berat. Diskusi kelompok dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan melatih siswa mengolah gagasan sendiri. Kegiatan penandaan teks juga dapat melatih siswa menemukan bagian penting tanpa harus membaca secara tergesa.
Membaca kritis mungkin terasa sulit bagi siswa yang sudah terbiasa dengan kecepatan informasi digital. Namun kelas bahasa Indonesia seharusnya menjadi tempat untuk memperlambat langkah, memberi ruang bagi pemikiran yang lebih dalam, dan melatih kemampuan menilai informasi. Jika kebiasaan membaca kritis tidak dibangun sejak dini, pelajar hanya akan menjadi penerima informasi yang pasif dan mudah terpengaruh.
Masa depan pembelajaran bahasa bergantung pada kemampuan siswa memahami teks secara mendalam. Pembiasaan membaca kritis tidak hanya membantu mereka di ruang kelas, tetapi juga dalam menghadapi berbagai persoalan yang menuntut analisis dan pemikiran jernih. Kelas yang mendorong pemahaman bukan kecepatan akan membantu siswa kembali menemukan nilai membaca sebagai proses berpikir, bukan sekadar kewajiban tugas.
