Membingkai Rasa, Menyuarakan Jiwa Lewat Fotografi

Dewi Aulia Setiani beserta dua karya fotografinya (Sumber: Dokumen Pribadi)

Purwokerto–Sebagian orang menganggap fotografi hanyalah cara untuk mengabadikan momen, tetapi bagi Dewi Aulia Setiani, mahasiswi semester lima program studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, fotografi adalah bahasa untuk menyampaikan rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.

Menurut Aulia, penguasaan segitiga exposure membantu fotografer menghasilkan gambar yang lebih tertata dan enak dipandang. “Tips dari aku yang memang benar-benar mencoba semuanya dari nol, coba pahami dulu segitiga exposure. Asal kamu paham itu, foto kamu bakal lebih tertata, lebih rapi dilihatnya. Terus, coba juga gunain feeling,” katanya.

Hal itu sejalan dengan yang dijelaskan dalam buku Dasar-Dasar Fotografi karya Hindam Basith Rafiqi, yang menyebut bahwa segitiga exposure terdiri dari tiga elemen penting: aperture, shutter speed, dan ISO. Ketiga unsur ini saling memengaruhi hasil pencahayaan. Aperture mengatur seberapa besar cahaya masuk, shutter speed menentukan lamanya sensor menerima cahaya, sedangkan ISO mengatur sensitivitas sensor terhadap cahaya. Jika salah satu berubah, dua lainnya harus menyesuaikan agar hasil foto tetap seimbang, tidak terlalu terang (overexposed) dan tidak terlalu gelap (underexposed).

Pertengahan 2024 menjadi awal baru dalam perjalanan fotografinya. Setelah memiliki kamera sendiri, Aulia mulai mengeksplorasi foto budaya di Banyumas dan Purwokerto. Ia sering meluangkan waktu untuk hunting acara seperti lengger, wayang, dan pementasan tari. Kegiatan itu ia lakukan bukan sekadar hobi, melainkan cara untuk melatih feeling dan kepekaan terhadap momen.

Selain aktif dalam fotografi budaya, Aulia juga sempat bergabung dengan komunitas Fotografi FISIP pada 2023–2024. Di sana, ia bertemu banyak teman dengan minat serupa dan menemukan tempat untuk tumbuh. Ia mulai mengikuti pameran seperti Pameran Caang 2023, Pameran Akbar 2024, hingga Pameran Akbar Hetero 2025. Dalam pameran terakhir, dua dari enam fotonya berhasil terpilih sebagai karya terbaik.

Bagi Aulia, fotografi adalah cara menyampaikan pesan dan perasaan yang tak selalu bisa diungkapkan lewat kata-kata. “Foto buat aku adalah sebuah media yang digunakan untuk menyampaikan rasa yang mungkin kita enggak bisa ungkapkan dengan kata-kata. Tapi kalau misalnya dibingkai dalam foto, orang yang melihatnya bisa merasa, ‘Oh, orang yang motret foto ini ingin menyampaikan pesan ini.’ Jadi, buat aku, foto itu bukan sekadar gambar, tapi sebuah alat untuk menyampaikan rasa melalui visual,” ucapnya.

Meski begitu, Aulia juga menyadari bahwa dunia fotografi kini sedang berhadapan dengan tantangan baru, yaitu hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, hasil foto buatan AI memang semakin realistis, tetapi tetap tidak bisa menggantikan esensi manusia dalam berkarya. “Semoga adanya AI tidak menurunkan semangat belajar fotografer karena jujur hasil foto AI sekarang cukup bikin mikir, apakah ke depannya fotografer bisa tergantikan sama AI. Tapi kembali lagi, tadi ‘kan aku bilang, kalau memang pedomannya foto itu sebagai alat penyampai rasa, AI itu enggak bisa merasakan,” tuturnya.

Dari pengalamannya belajar dari nol hingga kini aktif berkarya, Aulia memahami bahwa fotografi adalah perjalanan panjang. Ia berpesan agar siapa pun yang baru mulai jangan terburu-buru membandingkan diri dengan orang lain. 

Bagi Aulia, fotografi bukan sekadar soal menangkap cahaya, tetapi tentang memahami kehidupan di baliknya. Ia percaya, selama fotografer masih berkarya dengan rasa, teknologi secanggih apa pun tak akan mampu menggantikan kepekaan manusia.

Editor: Wanda Apriliani

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *