Purwokerto – Lampu perlahan dipadamkan. Ruang menjadi hening, tanpa suara maupun gerak. Jeda singkat itu membuat penonton menahan napas, seolah diajak bersiap sebelum cerita benar-benar dimulai. Pembukaan seperti ini bukan sekadar teknis pertunjukan, melainkan undangan untuk masuk ke pengalaman menonton yang tidak hanya mengandalkan mata, tetapi juga perasaan dan perhatian.
Teater memang bekerja dengan cara yang khas. Ia tidak memaksa makna hadir secara instan, tetapi membiarkannya tumbuh seiring proses pementasan. Setiap penonton datang dengan latar pengalaman yang berbeda, sehingga apa yang ditangkap pun tidak pernah sepenuhnya sama. Dalam pementasan ini, pengalaman itu terasa beragam. Ada yang datang dengan rasa penasaran, ada yang membawa ingatan dari pertunjukan sebelumnya, dan ada pula yang baru pertama kali berhadapan langsung dengan dunia teater.

Gita, salah satu penonton, mengaku sudah pernah menonton teater sebelumnya, tetapi tetap merasakan antusiasme yang kuat sejak awal. “Aku sangat excited. Dari awal suasananya sudah bikin penasaran,” ujarnya. Perhatiannya langsung tertuju pada properti bangunan di panggung, terutama rumah dengan tulisan mencolok yang menurutnya membantu membangun dunia cerita. Wawa merasakan hal serupa. Saat lampu dimatikan dan suasana menjadi sunyi, ia justru merasa tegang sekaligus senang. “Deg-degan karena hening, tapi jadi penasaran,” katanya. Bagi keduanya, detail visual dan adegan komedi menjadi pintu masuk untuk menikmati pertunjukan.
Pengalaman yang berbeda datang dari Anin dan Yagi. Anin, yang baru pertama kali menonton pementasan teater secara langsung, lebih banyak memperhatikan kualitas teknis dan kerja kolektif di atas panggung. Ia menilai tata panggung, pencahayaan, hingga chemistry antarpemain terasa matang dan saling mendukung. Sementara itu, Yagi memaknai pertunjukan dari sisi pesan sosial. Adegan ketika tokoh Pak Karman membantu warga sebelum mengambil keputusan meninggalkan kesan kuat baginya. “Pesannya soal musyawarah sebelum menghakimi, dan ada sindiran juga buat generasi muda,” ujarnya. Ia melihat cerita tersebut relevan dengan situasi sosial saat ini.
Beragamnya tanggapan itu menunjukkan bahwa menonton teater bukan aktivitas pasif. Penonton terlibat dalam proses menafsirkan, menimbang, bahkan mempertanyakan apa yang mereka saksikan. Ketika lampu kembali menyala dan pertunjukan selesai, pengalaman menonton tidak serta-merta berakhir. Makna yang muncul terus hidup dalam pikiran penonton, dibicarakan, dan direnungkan. Di sanalah teater menemukan perannya, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai ruang pengalaman yang membuka kemungkinan makna, satu penonton pada satu waktu.
Editor: Ika Sari Nur Widya
