Menumbuhkan Minat Bahasa: Strategi dan Tantangan Guru dalam Pembelajaran Bahasa di Era Digital

Cilacap – Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah Maos, Harsal Nikmah Febias, membagikan pandangannya mengenai tantangan dan strategi dalam mengajar bahasa di era digital. Selama 1,5 tahun mengajar seluruh jenjang kelas VII, VIII, dan IX, Harsal menilai bahwa bahasa bukan sekadar kumpulan kata atau aturan, melainkan alat untuk berpikir, memahami, dan mengekspresikan diri. “Pembelajaran bahasa juga menyentuh sisi karakter dan empati siswa, bagaimana mereka memahami makna di balik kata dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan bijak,” ujarnya.

Menurut Harsal, melalui bahasa seseorang dapat mengenal diri sendiri dan memahami orang lain. Ia menilai pembelajaran bahasa kini berada pada titik yang menarik. Perkembangan teknologi membuka peluang baru untuk belajar dengan cara yang lebih menarik. “Teknologi membuka peluang untuk belajar melalui video dan media interaktif. Namun, siswa juga harus dibimbing agar berpikir kritis dan menggali informasi dengan bijak,” jelasnya.

Dalam proses mengajar, Harsal menggunakan pendekatan berbasis teks dan proyek atau Project-Based Learning (PjBL). Siswa diajak membuat artikel sederhana dan video pendek agar dapat mengasah kreativitas serta keterampilan bahasa. Selain itu, ia memanfaatkan media digital seperti Canva untuk meningkatkan partisipasi dan memberi umpan balik secara langsung.

Ia juga menyesuaikan metode pembelajaran dengan gaya belajar siswa. Kadang ia menggunakan diskusi dan menonton video pembelajaran untuk membantu pemahaman. Dengan cara itu, siswa merasa lebih terlibat.

Meski begitu, Harsal mengakui ada tantangan besar. Minat baca dan kesadaran literasi siswa masih rendah. “Di era serba cepat dan digital ini, siswa lebih suka konten instan serta visual. Membiasakan mereka membaca teks panjang dan menulis dengan baik membutuhkan strategi yang sabar dan kreatif,” ujarnya.

Untuk menjaga motivasi siswa, ia sering mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata. Misalnya, menulis surat untuk tokoh favorit, membuat ulasan film, atau melakukan debat sederhana.

Selain itu, Harsal mengembangkan kegiatan literasi kolaboratif seperti membuat drama. Kegiatan tersebut tidak hanya melatih kemampuan berbahasa, tetapi juga membangun kerja sama dan rasa percaya diri. Ia menilai guru berperan penting sebagai fasilitator dalam proses ini. “Guru bahasa harus menjadi teladan dalam keindahan berbahasa,” tuturnya.

Terakhir, Harsal berharap sistem penilaian bahasa di sekolah lebih menekankan pada proses, bukan hasil akhir. Ia menegaskan bahwa keterampilan berbahasa tumbuh lewat latihan dan pengalaman, bukan sekadar ujian tulis. Dengan begitu, potensi siswa dapat terlihat secara lebih adil.

Editor: Bunga Oktarina Rahadatul Aisy

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *