Mulyani: Menghidupkan Kembali Bundengan, Musik Tradisional Khas Wonosobo

WONOSOBO — Di tengah derasnya arus globalisasi, seni tradisional kerap tersisihkan oleh budaya modern. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Mulyani, seorang guru sekaligus pelestari musik tradisional bundengan, alat musik khas Wonosobo yang terbuat dari anyaman bambu dan ijuk. Ia berperan penting dalam pelestarian bundengan melalui berbagai upaya pengenalan kepada generasi muda.

Menurut Mulyani, pelestarian bundengan di dunia pendidikan baik formal maupun informal, sangat bergantung pada kepedulian dan kreativitas guru seni budaya. Sejak tahun 2016 hingga 2023, ia telah memasukkan bundengan ke dalam kurikulum sekolah di tempatnya mengajar, yaitu SMP Negeri 2 Selomerto, sebagai mata pelajaran wajib. Langkah ini ia lakukan agar seni bundengan tetap lestari dan dikenal oleh generasi berikutnya.

“Di Wonosobo, hanya saya yang memasukkan bundengan ke dalam kurikulum. Jadi, semua bergantung pada kreativitas guru yang mengajar,” ujar Mulyani.

Selain melalui jalur pendidikan formal, Mulyani juga aktif mengadakan pelatihan bagi para guru seni budaya. Ia pernah menyelenggarakan pelatihan seni tradisional, termasuk bundengan, untuk meningkatkan kompetensi guru agar mereka tidak hanya memahami teknik bermain, tetapi juga mengenal latar belakang, filosofi, serta nilai-nilai luhur di baliknya.

Melalui Yayasan Ngesti Laras, Mulyani turut memperkenalkan bundengan kepada berbagai kalangan, termasuk anak-anak difabel. Ia meyakini bahwa seni dapat menjadi sarana inklusif yang mampu menjembatani perbedaan. Di bawah naungan yayasan tersebut, ia membentuk grup musik Bundengan Ngaras Rosso, yang rutin tampil di berbagai acara, termasuk di Hotel Egel setiap akhir pekan.

“Kami ingin bundengan dikenal semua orang, tanpa membedakan apakah mereka difabel atau tidak,” ungkapnya.

Dalam upaya pelestarian, Mulyani juga melakukan inovasi kolaboratif dengan menggabungkan bundengan dan alat musik modern dalam format mini orkestra yang memadukan biola, gitar, dan instrumen lainnya. Ia ingin menunjukkan bahwa bundengan dapat berdialog dengan musik modern tanpa kehilangan jati dirinya.

Selain nilai musikalnya, bundengan memiliki makna filosofis yang mendalam. Mulyani menceritakan mitos Kiai Jurung, sosok legendaris yang konon menggunakan bundengan untuk melawan penjajah Belanda. Struktur bundengan yang terbuat dari anyaman bambu dianggap melambangkan kebersamaan dan keterhubungan antar manusia.

“Anyaman bambu pada bundengan melambangkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita harus saling bersinergi tanpa memandang suku, agama, atau ras,” tuturnya.

Meski menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi, Mulyani tetap optimistis. Ia menilai generasi muda perlu didorong untuk tidak hanya mengonsumsi budaya asing, tetapi juga mengglobalisasikan budaya lokal agar dikenal dunia. Upayanya membuahkan hasil: ia berhasil memperkenalkan bundengan hingga ke Sydney dan Melbourne (Australia), Chiang Mai (Thailand), serta Berlin (Jerman).

“Mereka sangat terkesan dan kagum melihat keunikan bundengan. Ini membuktikan bahwa seni tradisi kita memiliki daya tarik besar di mata dunia,” ujar Mulyani dengan bangga.

Dengan semangat dan dedikasinya, Mulyani menjadi teladan nyata seorang pendidik pelestari budaya. Melalui bundengan, ia tidak hanya mengajarkan seni, tetapi juga menanamkan nilai kebersamaan, keikhlasan, dan cinta terhadap warisan bangsa.

Editor : Khanifah Zulfi

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *