Museum Sonobudoyo Hidupkan Kembali Sejarah Lewat Inovasi

Yogyakarta — Di sisi barat Alun-Alun Utara Yogyakarta berdiri Museum Sonobudoyo, bangunan bergaya joglo yang sejak 1935 menjadi saksi perjalanan budaya Nusantara. Didirikan atas gagasan Java Institut dan dirancang Thomas Karsten, museum ini kini bertransformasi dari ruang sunyi berisi artefak menjadi pusat kebudayaan yang interaktif dan relevan dengan perkembangan zaman.

Sonobudoyo menyimpan lebih dari 42 ribu koleksi, mulai dari wayang kulit, keris, arca perunggu abad ke-8, keramik prasejarah, hingga manuskrip kuno. Koleksi tersebut menjadikannya museum dengan artefak terlengkap kedua di Indonesia setelah Museum Nasional. Menjawab tantangan era modern, pengelola menghadirkan gedung pamer baru setinggi tujuh lantai dengan teknologi mutakhir, lengkap dengan pencahayaan artistik, layar interaktif, dan video mapping.

Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta terus menunjukkan transformasi luar biasa dengan menghadirkan pengalaman sejarah yang lebih interaktif dan imersif. Melalui penerapan teknologi Virtual Reality (VR) serta serangkaian inovasi digital lainnya, museum yang berdiri sejak 1935 ini kini menjelma menjadi pusat edukasi budaya yang modern dan inklusif, tanpa meninggalkan jati diri tradisionalnya.

Transformasi digital ini mulai terasa nyata sejak pembukaan lantai 5 dan 6 Gedung Baru Museum Sonobudoyo pada November 2023. Kedua lantai tersebut didedikasikan sebagai ruang interaktif yang memadukan kekayaan sejarah Jawa dengan teknologi mutakhir. Di sini, pengunjung dapat menjajal simulasi Jemparingan (memanah tradisional Jawa) dalam bentuk virtual, hingga menjelajahi lorong waktu melalui teknologi VR untuk merasakan langsung atmosfer kehidupan masyarakat masa lampau. Kepala Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi, menegaskan bahwa “pengunjung sekarang ingin lebih dari sekadar melihat benda mati. Mereka ingin merasakan ceritanya. Karena itu, kami memadukan koleksi dengan teknologi agar lebih menarik, tanpa mengurangi nilai aslinya.”

Antusiasme serupa juga dirasakan pengunjung. Sofi mengaku pengalaman barunya membuat ia lebih dekat dengan sejarah. “Biasanya kalau ke museum kan hanya lihat benda-benda mati, tapi disini rasanya lebih hidup seperti di masa lalu” tuturnya.

Selain pameran, Museum Sonobudoyo juga rutin menggelar pertunjukan wayang kulit, pementasan tari tradisional, hingga pemutaran film bertema budaya di Bioskop Sonobudoyo. Dengan kegiatan itu, museum hadir bukan hanya sebagai penyimpan artefak, tetapi juga ruang budaya yang hidup lintas generasi.

Meski demikian, pengelola menyadari tantangan besar masih ada, terutama dalam perawatan puluhan ribu koleksi dan pemeliharaan teknologi. “Perubahan ini baru langkah awal. Tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi,” tambah Ery.

Kini, Museum Sonobudoyo membuktikan bahwa warisan budaya tetap bisa relevan di era modern. Tradisi dan teknologi berpadu dalam harmoni, menjadikannya destinasi edukatif sekaligus inspiratif di jantung Yogyakarta.

Editor: Jevavia Aurelia Salsabila

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *