(Dokumen Pribadi)
Purwokerto– Pementasan drama berjudul “Orang-Orang di Tikungan Jalan” karya W. S. Rendra membuka malam di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, membawa penonton ke suasana mirip perkampungan kumuh tempat warga biasa mencari rezeki. Dibawah lampu sorot lampu biru, penonton disambut pemandangan pedagang keliling sederhana yang menjual wedang kacang, papan-papan iklan kusam, dan para tokoh yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian kelas bawah yang mengubah panggung seolah menjadi sudut jalan yang ramai, namun sering terabaikan.
Begitu ruang pertunjukan dibuka, ruangan mulai dipenuhi mahasiswa, para dosen, serta masyarakat umum yang ingin menyaksikan acara Jagat Rasa 2025, acara ini diselenggarakan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023. Pertunjukan drama ini menjadi karya kedua di festival itu, drama ini dipilih bukan hanya karena nama besar W. S. Rendra, namun karena ide sosialnya yang tetap aktual: bagaimana orang-orang pinggiran berjuang melawan kemiskinan, harapan, dan harga diri. Saat lampu aula mulai redup dan hanya panggung yang terang, obrolan ringan di sudut jalan pun dimulai, mengajak penonton untuk turut mendengarkan.
Di sisi kiri panggung, warung wedang kacang dengan gerobak warna oranye jadi fokus perhatian pertama, ada seorang perempuan berkerudung yang sibuk menata gelas dan panci kecil di depannya. Di tengah panggung, seorang wanita maju dengan badan sedikit membungkuk ke arah penonton, suaranya mengalahkan kebisingan seolah mewakili kegelisahan warga di tikungan jalan. Di belakangnya, dua pria duduk di atas palet kayu dengan kaki selonjoran, mengamati percakapan yang terjadi sembari sesekali bertukar pandang, bak mereka yang setiap hari menanti takdir di sudut kota.
Properti panggung didesain sederhana, namun penuh makna. Latar belakangnya yang gelap terpenuhi tempelan kertas dan poster yang ditempel miring seperti mirip dinding kota penuh dengan iklan jasa murah, pemberitahuan, dan janji singkat yang mudah dilupakan. Di sisi kanan, sebuah lampu kecil tergantung pada tiang kayu, memancarkan cahaya kuning redup yang hanya cukup menerangi sebagian wajah aktor, seakan menegaskan bahwa hidup mereka berjalan di ruang antara terang dan gelap. Tidak jauh dari sana, papan kayu dengan nama tempat yaitu Jalan Puspa yang terpasang di dekat tanaman, menunjukkan bahwa tikungan ini bukan hanya tempat singgah, melainkan alamat yang benar-benar mereka huni.
Sejak awal, arah cerita sudah terasa: ini bukan tentang pahlawan besar, melainkan tentang orang-orang yang berjuang di sela kebisingan kota dan statistik ekonomi. Percakapan demi percakapan yang terjadi di tikungan jalan membawa penonton mendengarkan persoalan hutang janji dan impian sederhana yang sering tertunda. Tawa terdengar saat para tokoh saling bercanda seperti di warung pinggir jalan, namun perlahan berubah menjadi sunyi ketika isu tentang keadilan dan pilihan sulit mulai dibicarakan. Panggung sederhana itu, dengan segala kesederhanaannya, menjelma menjadi cermin bagi penonton untuk melihat diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia yang terlibat, pementasan ini menjadi wadah belajar untuk menggabungkan teori sastra, kemampuan berbahasa, dan kepedulian sosial. Mereka tidak sekadar menghafal dialog W.S Rendra, namun menginterpretasi ulang maknanya untuk zaman sekarang, saat kesenjangan sosial masih menjadi masalah yang terasa di jalanan sekitar kampus. Setelah pertunjukan selesai, sebagian penonton terlihat enggan beranjak; mereka berdiskusi tentang tokoh yang paling menarik dan adegan yang paling berkesan. Di tengah riuh dunia digital yang serba cepat, “Orang-Orang di Tikungan Jalan” versi Jagat Rasa 2025 menunjukkan bahwa teater kampus masih bisa menghadirkan ruang jeda untuk sejenak berhenti di tikungan, melihat sekeliling, lalu melanjutkan hidup dengan perspektif yang berbeda.
Editor: Sinta Rahmawati
