
(sumber: dokumentasi pribadi)
Pagelaran Jagat Rasa dengan judul Orang-Orang di Tikungan Jalan menghadirkan sebuah drama yang tidak hanya menyuguhkan cerita, tetapi juga mengajak penonton untuk merenung. Panggung menjadi ruang pertemuan antara luka dan cinta, antara kehilangan dan penebusan. Setiap tokoh yang hadir membawa fragmen kehidupan: ada yang tersesat dalam masa lalu, ada yang terjebak dalam dosa, dan ada pula yang mencari cahaya kebenaran di tengah gelapnya malam.
Pernahkah Tuan dan Puan berdiri di sebuah tikungan jalan—tempat manusia berhenti sejenak, menatap hidup yang tak lagi lurus? Di bawah lampu jalan yang temaram, percakapan dengan masa lalu kembali hadir, cinta yang kehilangan arah berbisik lirih, dan dosa yang tak pernah lelah mengikuti setiap langkah. Dari ruang hening itu, lahirlah kisah tentang orang-orang yang berjuang mencari arti kebenaran, tentang mereka yang ingin pulang, tetapi tak tahu ke mana harus kembali.
Di bawah langit malam yang tak pernah tidur, penonton diajak menyaksikan perjalanan batin manusia yang penuh pertanyaan. Bagaimana seseorang berdamai dengan masa lalu? Bagaimana cinta tetap bertahan meski kehilangan arah? Bagaimana penebusan menjadi jalan pulang bagi mereka yang tersesat? Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab melalui bahasa tubuh, dialog, dan simbol-simbol panggung yang sarat makna.
Pagelaran ini bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah refleksi sosial dan spiritual. menegaskan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menyuarakan kegelisahan manusia, menghidupkan kembali harapan, dan membuka ruang bagi penebusan. Orang-Orang di Tikungan Jalan adalah cermin yang memantulkan wajah kita sendiri—manusia yang terus mencari arti hidup di persimpangan jalan.
