Purwokerto — Minat pembaca muda terhadap karya Pramoedya Ananta Toer kembali menguat, terutama melalui bukunya Panggil Aku Kartini Saja yang kini banyak dibahas di berbagai ruang baca digital. Di media sosial X, sejumlah mahasiswa mengikuti diskusi literasi daring yang membahas ulang figur Kartini melalui kacamata Pram, sekaligus mengaitkannya dengan kondisi sosial perempuan masa kini.
Zulfa, salah satu peserta yang aktif dalam komunitas diskusi literasi daring tersebut, mengakui bahwa perspektifnya mengenai Kartini berubah setelah membaca karya Pram. “Aku awalnya meremehkan Kartini karena merasa perjuangannya hanya lewat surat,” ujar Zulfa. “Tapi setelah membaca buku Pram, aku sadar betapa berat tekanan feodalisme dan kolonialisme yang ia hadapi. Dari ruang yang sempit itu, pemikirannya justru bisa jadi seterang itu.”
Diskusi yang diikuti Zulfa dan para anggota lain menunjukkan bahwa pembaca muda mulai melihat Kartini bukan sebagai simbol seremonial, tetapi sebagai pemikir yang berjuang melalui gagasan dan keberanian berbicara. Dalam salah satu sesi, seorang peserta diskusi sempat berkomentar, “Kalau Kartini masih hidup, beliau pasti bangga melihat perempuan sekarang yang berani bersuara dan berdiri di depan.”
Konteks itu terasa relevan dengan kondisi hari ini. Di kalangan mahasiswa, kesadaran literasi dan perhatian terhadap isu kesetaraan semakin terlihat. Perempuan kini lebih banyak mengambil peran penting dalam kegiatan akademik maupun sosial: memimpin diskusi, menulis opini, serta menyuarakan kritik di ruang-ruang publik. Fenomena tersebut semakin menonjol saat demonstrasi beberapa waktu lalu, ketika banyak perempuan dari berbagai kalangan dan usia turut berada di garis depan sebagai penyampai aspirasi. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa keberanian, yang dahulu diwujudkan Kartini melalui tulisan, kini hidup dalam tindakan nyata generasi muda.
Menurut Zulfa, pembacaan ulang terhadap Panggil Aku Kartini Saja karya Pram adalah cara mahasiswa memahami kembali sejarah perempuan Indonesia dalam konteks yang lebih luas. Ia menilai bahwa semangat Kartini justru tampak paling jelas ketika dibandingkan dengan dinamika sosial yang terjadi sekarang. “Kartini memperjuangkan pendidikan dan kebebasan berpikir. Sekarang, perempuan meneruskan itu lewat suara dan tindakan. Semangatnya jelas masih terasa,” ujarnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sastra tetap menjadi ruang penting bagi generasi muda untuk menafsir ulang sejarah dan melihat ulang peran perempuan dalam masyarakat. Melalui Panggil Aku Kartini Saja, pembaca menemukan bahwa perjuangan Kartini bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan gagasan yang terus tumbuh seiring perkembangan zaman dan gerak perempuan modern hari ini.
