Purwokerto – Bahasa Jawa Dialek Banyumasan, yang populer dikenal sebagai Bahasa “Ngapak,” menghadapi ancaman kepunahan seiring dengan arus modernisasi dan pengaruh dominasi dialek Jawa lain seperti Solo-Jogja. Menanggapi kekhawatiran ini, Pemerintah Kabupaten Banyumas mengambil langkah tegas dengan memasukkan dialek khas Jawa Tengah bagian barat ini ke dalam kurikulum muatan lokal Sekolah Dasar (SD).

Bahasa Ngapak Terancam Punah dan Dianggap “Kampungan”
Meskipun merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) , Bahasa Banyumasan mulai ditinggalkan, terutama oleh generasi muda. Sebagian masyarakat, khususnya generasi milenial, bahkan merasa malu menggunakan Bahasa “Ngapak” karena pandangan yang menganggapnya sebagai bahasa kelas dua atau terkesan norak dan kampungan. Akibatnya, siswa di perkotaan lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi.
Sebelumnya, kurikulum Bahasa Jawa di Banyumas menggunakan dialek Solo-Jogja, yang menyebabkan siswa kesulitan dalam pengucapan dan pemahaman karena berbeda dengan bahasa sehari-hari mereka.
Kurikulum Muatan Lokal Sebagai “Penyelamat”
Sebagai upaya penyelamatan dan pelestarian, Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas kini telah menyusun kurikulum dan buku ajar khusus tentang Budaya Banyumasan dan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan.
Dengan adanya perangkat pembelajaran ini, Bahasa Banyumasan secara resmi menjadi materi ajar wajib bagi siswa SD di Kabupaten Banyumas. Tujuan utamanya adalah:
- Membiasakan siswa menggunakan Bahasa Banyumasan dalam berkomunikasi baik dengan teman maupun guru di sekolah.
- Menanamkan nilai-nilai etika, moral, dan karakter, serta melestarikan kearifan lokal budaya Banyumasan.
- Menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa untuk menggunakan Bahasa “Ngapak”.
Langkah ini diharapkan dapat mengenalkan, membiasakan, dan menumbuhkan rasa cinta siswa terhadap Bahasa Banyumasan, sehingga bahasa ibu ini tidak lagi “menjadi anak tiri di daerahnya sendiri”. Masyarakat Banyumas pun didorong untuk bangga dengan kekhasan dialeknya, sesuai ungkapan populer: “Ora Ngapak Ora Kepenak”.
