Fenomena Bahasa Gaul di Media Sosial dan Dampaknya terhadap Pendidikan Bahasa Mahasiswa

Sumber: Ilustrasi desain Canva oleh penulis

Purwokerto Penggunaan bahasa gaul di media sosial semakin mewarnai percakapan mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan seperti “anjir sumpah capek,” “gaje banget,” hingga “woy spill tugasnya” kini mudah ditemukan di kolom komentar, chat pribadi, dan percakapan daring antar mahasiswa. Fenomena ini dianggap lumrah, namun mulai menimbulkan kekhawatiran di lingkungan pendidikan bahasa.

Media sosial yang terus berkembang membuat bahasa gaul menyebar dengan cepat, tanpa batas usia maupun konteks. Menurut ahli bahasa Abdul Chaer, perubahan bahasa terjadi karena pengaruh lingkungan sosial, termasuk ruang digital. Meski wajar, perubahan tersebut tetap perlu diawasi agar tidak mengganggu kemampuan berbahasa formal mahasiswa.

Sebuah penelitian dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (2022) menunjukkan bahwa kebiasaan memakai bahasa gaul di media sosial dapat terbawa ke tugas kuliah dan komunikasi akademik. Beberapa dosen menemukan mahasiswa menulis frasa informal seperti “btw pak,” “udah saya kumpulin ya,” atau “ini tuh ribet banget” dalam konteks yang seharusnya formal.

Kondisi itu memperlihatkan adanya tantangan baru dalam pendidikan bahasa. Selain mempengaruhi keterampilan menulis, penggunaan kata-kata kasar seperti “anjir,” “parah loh,” atau “woy buruan” juga berdampak pada etika berbahasa mahasiswa. Padahal, seperti dikemukakan Keraf, bahasa mencerminkan sikap dan menciptakan kesan tertentu pada lawan bicara.

Meski begitu, variasi bahasa tidak selalu harus dipandang negatif. Pakar sosiolinguistik menyebut bahwa kreativitas berbahasa di media sosial dapat memperluas wawasan mahasiswa tentang ragam informal yang hidup di masyarakat. Tantangannya adalah bagaimana mahasiswa mampu membedakan penggunaan bahasa sesuai situasi.

Para pengajar kini mendorong mahasiswa untuk tetap mengikuti perkembangan bahasa digital, namun tetap menjaga ketepatan bahasa formal pada tugas, laporan, maupun komunikasi akademik. Pendidikan bahasa menekankan tiga hal: wawasan tentang perubahan bahasa, keterampilan memilih ragam bahasa yang tepat, dan etika berbahasa sopan, baik di ruang digital maupun di kampus.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa media sosial tidak hanya mengubah cara mahasiswa berkomunikasi, tetapi juga memberi tantangan baru bagi pendidikan bahasa di perguruan tinggi.

Editor: Cantika amalia Putri

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *