
Banyumas — Fenomena penyalahgunaan dana bantuan pendidikan kembali mencuat setelah muncul berbagai pandangan dari mahasiswa mengenai penggunaan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang tidak sesuai peruntukannya. Bantuan yang seharusnya dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan akademik, seperti membeli perlengkapan kuliah atau memenuhi biaya pendidikan, justru sering digunakan untuk memenuhi gaya hidup konsumtif.
Sejumlah mahasiswa menilai bahwa penyimpangan ini dilakukan oleh sebagian penerima KIP-K yang terpengaruh budaya gaya hidup modern. Tren media sosial, konten hiburan, hingga tekanan lingkungan membuat sebagian mahasiswa memilih mengalokasikan dana bantuan untuk membeli barang fesyen, gawai baru, atau aktivitas yang tidak berhubungan dengan pendidikan. Fenomena ini dapat ditemui di berbagai lingkungan kampus dan tidak terbatas pada daerah tertentu.
Opini ini semakin sering disuarakan dalam beberapa tahun terakhir bersamaan dengan meningkatnya eksposur mahasiswa terhadap gaya hidup digital. Mahasiswa menilai bahwa perubahan pola hidup yang semakin konsumtif telah membuat fungsi dasar bantuan pendidikan bergeser dari tujuan semula.
Menurut pandangan mahasiswa, penyalahgunaan ini terjadi karena kurangnya literasi finansial dan minimnya kesadaran akan tanggung jawab moral sebagai penerima bantuan. Banyak mahasiswa belum mampu membedakan kebutuhan akademik dengan keinginan pribadi yang bersifat konsumtif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa bantuan pendidikan malah dinikmati oleh pihak yang sebenarnya tidak tepat sasaran.
Dalam praktiknya, mahasiswa menerima dana bantuan secara langsung sehingga memiliki kebebasan penuh dalam penggunaannya. Tanpa pemahaman pengelolaan keuangan atau kesadaran diri yang kuat, dana yang ditujukan untuk pendidikan berubah menjadi sumber pembiayaan tren gaya hidup yang bersifat sementara.
Salah satu mahasiswa, Cantika, menyampaikan pandangannya terkait fenomena ini. Ia menilai bahwa penyalahgunaan bantuan tidak hanya merugikan mahasiswa lain, tetapi juga mencederai tujuan program tersebut. “Menurut saya, bantuan KIP-K lebih baik diberikan kepada mahasiswa yang benar-benar membutuhkan, bukan digunakan untuk kesenangan pribadi oleh mereka yang pada dasarnya mampu tetapi tetap menjadi penerimanya,” ungkapnya. Pendapat ini mencerminkan kekhawatiran mahasiswa terhadap ketidakadilan dalam penyaluran bantuan pendidikan.
Mahasiswa berharap agar penerima KIP-K dapat lebih bijak memanfaatkan bantuan dan kembali memahami tujuan utama program tersebut, yaitu mendukung keberlangsungan pendidikan, bukan untuk mendukung gaya hidup.
Editor:
