Penggunaan interjeksi semakin menonjol dalam berbagai ruang komunikasi modern—baik di media sosial maupun media cetak seperti pamflet, poster, dan majalah. Fenomena ini terlihat sejak meningkatnya intensitas komunikasi digital pada 2024–2025. Menurut Laporan Survei Internet APJII 2024, pengguna internet Indonesia meningkat hingga 79,5%, sehingga masyarakat semakin terbiasa berkomunikasi dengan bentuk bahasa yang singkat namun ekspresif. Ungkapan seperti “loh!”, “hah?”, “duh!”, “wow!” kini muncul sebagai penanda emosi yang mudah dikenali pembaca.
Kecenderungan ini muncul terutama di kalangan remaja dan dewasa muda yang aktif menggunakan media digital. Namun, interjeksi juga mulai dipakai dalam materi publik untuk menarik perhatian pembaca, misalnya pamflet kesehatan yang dibuka dengan kata “Awas!” atau poster kampanye yang menggunakan “Stop!” sebagai judul besar. Menurut Maya, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), yang ditemui pada Selasa (25/11), “Interjeksi itu efektif karena langsung mengenai rasa. Pembaca tahu nada penulis hanya dari satu kata.”
Di media cetak, interjeksi sering diperkuat dengan tipografi tebal atau warna mencolok. Sementara di ranah digital, penggunaannya membentuk identitas linguistik generasi muda yang cenderung spontan dan santai. Meski begitu, pemilihan interjeksi tetap harus mempertimbangkan konteks agar tidak terkesan agresif atau kurang sopan—selaras dengan prinsip etika dalam komunikasi publik.
Perkembangan ini menegaskan bahwa interjeksi bukan lagi sekadar “kata spontan”, melainkan unsur penting dalam membangun kedekatan dan emosi dalam pesan. Di tengah arus literasi digital, interjeksi menjadi benang kecil yang membuat percakapan terasa lebih hidup, jelas, dan mudah dipahami pembaca dari berbagai media.
