Purwokerto-Ogi tidak pernah bermimpi masuk kuliah. Ia hanya mengikuti arus: mendaftar, diterima, lalu duduk di kelas dengan kepala kosong. Hasilnya mudah ditebak IPK semester pertama anjlok ke angka 1,83. Para dosen menyebutnya mahasiswa pasif. Teman-temannya mengabaikannya. Kampus sudah siap memberi surat Drop Out.
Namun, justru dari titik terendah itulah perjalanan Ogi dimulai.Kisah Ogi muncul dalam novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas karya J.S. Khairen, dan banyak pembaca menilai tokoh ini mewakili isu sosial yang makin sering dibicarakan: sarjana yang hanya kuat di atas kertas, tetapi goyah ketika berhadapan dengan dunia nyata.Fenomena itu menjadi pintu masuk cerita. Novel menggambarkan bagaimana pendidikan formal tidak selalu menjamin kesiapan mental dan keterampilan seseorang. Ogi adalah gambaran paling sederhana: berijazah, tetapi tidak tahu harus apa.
Sampai sebuah tragedi keluarga menamparnya keras kehidupan memaksanya berhenti main-main. Pada saat yang sama, dosennya, Lira Estrini, datang dengan tantangan paling tidak biasa.Bukannya memintanya memperbaiki nilai atau mengejar prestasi, Bu Lira justru berkata:Metafora yang terdengar aneh itu membawa filosofi: kecoak adalah makhluk yang bertahan, bukan yang indah. Ketangguhan, bukan kesempurnaan. Pesan ini kemudian tertancap dalam diri Ogi.
Sejak itu, alur hidup Ogi berubah. Ia berhenti mengejar nilai sekadar untuk terlihat “mahasiswa sukses”. Ia memilih jalur yang lebih jujur pada dirinya bekerja di bengkel.Di bengkel itulah Ogi belajar ritme: bangun pagi, bekerja, pulang dengan bau oli, lalu belajar. Hidupnya tidak glamor, tetapi justru tertata. Perlahan, ia menemukan bakatnya di bidang teknologi. Ia lulus dari ancaman DO, bukan karena nilai yang melonjak drastis, tetapi karena ia menemukan arah dan daya tahan.
Banyak pembaca merasa kisah Ogi dekat dengan kehidupan mereka.Anya (23), salah satu pembaca, mengatakan:“Kisah Ogi itu nyata banget. Dia membuktikan gelar tidak sepenting mentalitas. Kutipan di novel itu jadi pengingat bahwa ijazah tidak akan pernah menggantikan jati diri dan kemauan untuk berjuang. Di tengah keterpurukan Ogi, kutipan itu yang jadi penopang semangatnya: Kita mungkin tidak bisa jadi kupu-kupu yang indah. Tapi kita semua bisa bertahan. Jangan mau kalah sama kecoak.”
Interpretasi pembaca ini mempertegas tujuan novel: menghadirkan tokoh yang dekat, rapuh, tetapi berani mengambil alih hidupnya.Kekuatan cerita Ogi bukan pada akhir yang fantastis, tetapi pada proses menemukan jati diri. Kisah ini menjadi pengingat bahwa banyak mahasiswa bisa pintar di kelas, tetapi gagal di hidup dan sebaliknya, ada yang hampir DO tetapi menemukan masa depannya lewat jalur yang tidak pernah diajarkan di kampus.
Dengan isu yang relevan dan tokoh yang hidup, Kami (Bukan) Sarjana Kertas bahkan dikabarkan sedang disiapkan menuju layar lebar. Adaptasi ini berpotensi membawa pesan yang sama:masa depan tidak ditentukan gelar, tetapi keberanian untuk mulai dari bawah.
