Orang kebingungan dalam membedakan konten AI atau bukan di media sosial. (Dok. Pribadi)
Purwokerto—Di media sosial, terutama For Your Page (FYP) TikTok, batas antara fakta dan fiksi kini semakin tipis. Video-video buatan Artificial Intelligence (AI) yang mengubah wajah dan suara manusia tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ancaman nyata bagi fondasi literasi digital.
Ferry, mahasiswa Sastra Indonesia, mengaku sering melihat video AI di TikTok dalam beberapa bulan terakhir. “Awalnya percaya saja. Setelah dilihat-lihat, wah, ini sepertinya AI,” katanya saat wawancara (16/11/2025). Dalam sebulan, ia bisa menjumpai lima sampai sepuluh video yang tampak sangat realistis, dari parodi hingga video yang nyaris membuatnya tertipu.
Bita, mahasiswa yang aktif menggunakan TikTok, juga mengalami hal serupa. Ia bisa menemukan dua atau tiga video AI setiap kali scroll. “Kadang hampir percaya. Biasanya aku cek komentar dulu buat memastikan,” ujarnya dalam wawancara (17/11/2025).
Salah satu langkah sederhana yang perlu dilakukan adalah verifikasi informasi melalui kolom komentar. Ferry mengungkapkan bahwa ia hampir tertipu oleh sebuah video singkat yang menampilkan seorang ibu di pasar. Keyakinan bahwa video tersebut merupakan hasil karya AI muncul setelah ia memeriksa tanggapan dari warganet. Menurut Ferry, netizen yang cermat kerap mampu mengenali ciri-ciri video buatan AI. Terlebih, di platform TikTok, kadang kala terdapat di pojok kiri bawah yang menandai bahwa video tersebut dibuat dengan teknologi AI, yang dapat dijadikan petunjuk keaslian konten.
Ferry menilai dampak terbesar dari maraknya video AI adalah penyebaran hoaks, terutama bagi orang-orang yang awam dengan teknologi. “Orang tua atau yang kurang melek digital mudah percaya. Kalau video AI dipakai untuk penipuan, itu bahaya,” ujarnya.
Meski begitu, Ferry mengaku bahwa video AI tetap punya sisi hiburan. Banyak konten dibuat untuk lucu-lucuan. “Kayak ayam yang sudah digoreng itu terus hidup lagi, itu kan hal yang surealis. Namun, dibuat dengan AI itu terasa seperti hidup. Jadi, kayak itu buat hiburan aja sih sebenarnya,” ungkap Ferry.
Sebagai penonton, Bita mengungkapkan bahwa diperlukan literasi digital. “Tonton terlebih dahulu videonya, lalu cari tahu kebenarannya bisa melalui baca komen di TikTok tersebut dan biasanya ada yang memberitahu kalau video tersebut hoaks,” ujar Bita.
“Untuk penonton atau yang mengonsumsi produk-produk digital khususnya video yang tersebar di media sosial, agar tidak tertipu tuh yang pertama jelas perbanyak literasi digital gitu. Paham bagian mana informasi, mana yang berupa fakta, bagian mana informasi yang tidak benar,” jelas Ferry.
Di tengah banjir konten AI, ketelitian terhadap suatu informasi perlu ditingkatkan. Kemampuan kritis untuk membedakan fakta dengan visualisasi AI yang realistis adalah kunci utama literasi digital saat ini.
Editor: Rizqiya Amali Husna
