
Cilacap- Profesi advokat kerap disebut sebagai officium nobile atau jabatan mulia. Sebutan ini bukan sekadar gelar kehormatan, melainkan pengakuan atas peran penting advokat dalam menegakkan hukum dan keadilan. Namun, di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang semakin pesat, nilai-nilai luhur profesi ini menghadapi tantangan besar—terutama dalam menjaga etika dan integritas.Dalam wawancara daring bersama tim redaksi, pengacara senior Damas Kurniadi, menguraikan pandangannya mengenai kondisi profesi advokat di Indonesia saat ini sekaligus menyampaikan pesan mendalam bagi generasi muda, khususnya mahasiswa hukum yang bercita-cita menjadi advokat.Menurut Kurniadi, salah satu persoalan krusial yang mencoreng martabat profesi advokat adalah praktik menjanjikan kemenangan kepada klien. Tindakan tersebut, tegasnya, tidak hanya melanggar kode etik profesi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap dunia advokat.> “Advokat sejati tidak boleh menjanjikan kemenangan. Tugas kita adalah memperjuangkan hak klien berdasarkan hukum dan fakta. Keputusan tetap berada di tangan pengadilan,” ujarnya menegaskan.Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa advokat memiliki tanggung jawab ganda. Pertama, kepada klien yang mempercayakan perkaranya; dan kedua, kepada sistem hukum serta prinsip keadilan itu sendiri. Artinya, advokat tidak boleh semata-mata mengejar kepentingan pribadi atau keuntungan materi, melainkan harus menempatkan keadilan sebagai tujuan utama.Kurniadi menilai bahwa perkembangan teknologi digital membawa dampak ganda. Di satu sisi, digitalisasi membuat pekerjaan hukum lebih cepat dan efisien: advokat dapat melakukan riset hukum dengan akses yang lebih luas, mengelola dokumen secara daring, serta berkomunikasi dengan klien tanpa batas ruang dan waktu.Namun di sisi lain, teknologi juga menghadirkan jebakan baru. Media sosial, misalnya, bisa menjadi pisau bermata dua.> “Media sosial bisa menjadi jebakan. Jangan sampai advokat terlibat dalam trial by the press. Rahasia jabatan dan integritas tetap harus dijaga,” ungkapnya.Ia menegaskan pentingnya kehati-hatian advokat dalam menggunakan teknologi, terutama terkait informasi yang menyangkut klien dan perkara. Penyebaran informasi yang tidak tepat bukan hanya berpotensi mencederai proses hukum, tetapi juga melanggar prinsip kerahasiaan dan kepercayaan.Sebagai salah satu pilar sistem peradilan, advokat memiliki kedudukan sejajar dengan jaksa dan hakim. Perannya sangat vital untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan tidak diskriminatif.Bagi Kurniadi, advokat bahkan memiliki peran paling bermakna ketika mendampingi kelompok masyarakat yang rentan, miskin, atau tersisih secara sosial ekonomi.> “Ketika klien kita adalah rakyat kecil atau pihak yang tersudutkan, di situlah advokat benar-benar berperan memastikan keadilan ditegakkan,” tambahnya.Dengan demikian, profesi advokat bukan sekadar sarana mencari nafkah, melainkan panggilan moral untuk membela hak-hak masyarakat yang lemah.Menutup wawancara, Damas Kurniadi menyampaikan pesan inspiratif bagi mahasiswa hukum dan calon advokat.> “Kalau kalian ingin menjadi advokat, jadilah pembelajar seumur hidup. Dunia hukum terus berubah, tapi satu hal yang tidak boleh berubah adalah komitmen pada etika dan keadilan,” pungkasnya.Ia menekankan bahwa hukum selalu dinamis, mengikuti perkembangan masyarakat, teknologi, dan ekonomi global. Oleh karena itu, mahasiswa hukum dan advokat muda dituntut untuk terus memperbarui pengetahuan, meningkatkan profesionalisme, serta memperkuat integritas diri.Profesi advokat memang syarat nilai moral dan tanggung jawab. Di tengah derasnya arus digitalisasi, integritas dan etika menjadi benteng terakhir agar officium nobile tetap terjaga. Pesan Kurniadi menjadi pengingat bahwa advokat sejati bukan sekadar pengacara yang lihai berargumen di pengadilan, tetapi juga penjaga keadilan yang setia pada sumpah profesinya.Dengan bekal integritas, etika, dan komitmen terhadap keadilan, generasi muda diharapkan mampu melanjutkan estafet profesi advokat sebagai jabatan mulia yang benar-benar layak disebut officium nobile.
Editor: Rizki Wahyu Aulia Nisa