“Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan” yang digelar di Hetero Space Banyumas, Selasa (30/9/2025). (Dokumentasi Sanggar Ngudi Luwesing Salira yang dipublikasikan oleh Propublika)
Purwokerto – Di bawah cahaya lampu panggung yang temaram, sehelai sampur panjang khas penari Lengger melayang, mengikuti gerak tangan yang lembut. Setiap ayunan membawa kisah, tentang perempuan dan cinta pada budaya yang tak pernah padam. Di balik itu, berdiri sosok Biyung Narsih, perempuan asal Banyumas yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga napas Tari Lengger agar tetap hidup di tengah zaman yang berubah.
Bagi Biyung, sampur bukan hanya sekadar selendang, melainkan simbol kehidupan perempuan yang lembut sekaligus kuat. Setiap gerakan dalam Lengger punya arti, setiap ayunan tangan melambangkan kasih, langkah kaki menggambarkan keteguhan, dan senyum yang tersungging menjadi tanda penghormatan. Di balik keindahan itu, tersimpan pesan bahwa perempuan mampu menyampaikan makna besar lewat gerak sederhana.
Dulu, Lengger tumbuh di tengah kehidupan desa sebagai bagian dari ritual dan rasa syukur kepada alam. Penarinya dihormati, dianggap pembawa keberkahan. Namun seiring waktu, makna itu memudar. Pandangan masyarakat berubah. Di sinilah Biyung Narsih memilih berdiri, menjaga agar seni ini kembali pada makna aslinya, seni yang anggun, sarat nilai moral, dan menguatkan peran perempuan.
“Lengger itu tak bisa dipisahkan dari perempuan,” tutur Biyung Narsih. “Perempuan selalu menjadi pusat setiap penampilan. Gerakannya bukan sekadar tarian, tapi menyimpan pesan moral dan sosial sesuai lagu yang dibawakan. Penari Lengger juga harus bisa menyanyi dan melucu, semua dilakukan dalam satu panggung.”
Sama dengannya, Biyung Narsih juga dikenal sebagai seniman serba bisa. Dalam setiap pementasan Lengger, ia tak hanya menari, tetapi juga bernyanyi dan melucu di atas panggung. Dengan suara ngapak — khas Banyumasan dan canda sederhana, ia mampu menghidupkan suasana sekaligus menyampaikan pesan sosial secara halus. Bagi Biyung, kemampuan itu bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk kecerdasan budaya, bagaimana seorang penari bisa menggerakkan hati penonton melalui gerak, suara, dan tawa dalam waktu bersamaan.
Kini, setiap kali sampur melayang di tangannya, Biyung tahu bahwa ia sedang menuturkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar tari, melainkan sebuah kisah tentang jati diri, keteguhan, dan cinta pada budaya. Di tangannya, sampur itu benar-benar berkisah: tentang perempuan yang menari, bernyanyi, dan tertawa, namun tetap menjaga martabat dan makna di setiap langkahnya.