Panggung sederhana itu menampung lebih dari sekadar adegan. Dalam satu ruang yang sama, berbagai perilaku manusia dipertemukan dan dibiarkan berjalan berdampingan. Lampu panggung menyala tenang, membuka pemandangan lima sosok dengan pilihan sikap yang berbeda-beda.
Di salah satu sisi panggung, seorang lelaki berdiri sambil menenggak minuman keras. Gerakannya terlihat santai, tanpa raut bersalah. Tidak jauh dari sana, dua orang duduk berdampingan di bangku kayu. Mereka berbincang ringan, sesekali melirik, lalu kembali pada percakapan mereka sendiri. Tidak ada teguran, tidak ada reaksi keras. Diam menjadi sikap yang dipilih.
Sementara itu, seorang penjual wedang kacang tetap sibuk di balik lapaknya. Tangannya bekerja, tubuhnya tenang. Ia seolah berada di ruang yang sama, tetapi dengan dunia yang berbeda. Di sisi lain, satu sosok berdiri memperhatikan seluruh situasi. Ia tidak ikut campur, tidak pula pergi. Kehadirannya menjadi penanda bahwa setiap peristiwa selalu memiliki saksi.
Adegan ini menghadirkan gambaran sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam satu ruang publik, manusia tidak selalu bereaksi dengan cara yang sama. Ada yang larut dalam kebiasaan, ada yang memilih bekerja, ada yang bersikap acuh, dan ada pula yang hanya mengamati. Semua perilaku itu hadir tanpa narasi yang menghakimi.
Dari sisi keterampilan, para pemain mampu memanfaatkan ruang panggung dengan efektif. Gestur tubuh, ekspresi wajah, dan interaksi antartokoh dibangun secara natural. Properti sederhana seperti bangku kayu, lapak wedang kacang, dan botol minuman memperkuat konteks cerita tanpa mengalihkan perhatian penonton dari pesan utama.
Nilai etika disampaikan secara halus namun tegas. Minuman keras tidak ditampilkan sebagai sesuatu yang dibenarkan, melainkan sebagai realitas sosial yang sering dibiarkan. Penjual wedang kacang merepresentasikan kerja dan tanggung jawab, sementara tokoh pengamat menghadirkan ruang refleksi bagi penonton. Melalui susunan ini, penonton diajak menyadari bahwa sikap diam, bekerja, atau membiarkan, semuanya adalah pilihan yang memiliki konsekuensi.
Pementasan ini menunjukkan bahwa teater tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium penyampaian pengetahuan sosial. Tanpa dialog panjang dan tanpa pesan yang digurui, satu adegan mampu mengajak penonton berpikir tentang perilaku manusia di ruang bersama. Ketika pertunjukan berakhir dan lampu panggung meredup, yang tersisa adalah kesadaran bahwa kehidupan, seperti panggung, selalu mempertemukan banyak perilaku dalam satu ruang yang sama.
Editor: Sofia Almas Meylani
